Dua Puluh Dua

30.5K 1.7K 21
                                    

Adriana dan Ben sedang dalam perjalanan pulang menuju kantor setelah menghadiri meeting bersama klien.

"Jadi yang kemarin pemegang saham baru itu temen lama kamu waktu di Amerika?" tanya Adriana.

Ben mengangguk. "Iya, Naraka. Tapi dia gak satu kampus sama aku, karena dia belajar di sekolah penerbangan, jadi pilot. Dia jenius sih anaknya, kita sering saingan nilai padahal major kita beda banget."

Adriana mendengus. "Kamu saingan sama anak jenius? Yang bener aja?"

"Kamu ngeremehin aku ha?" ujar Ben, pura-pura tersinggung. "Kamu mungkin gak percaya, tapi aku ini berhasil lulus dengan nilai cumlaude lho waktu di Amerika."

Adriana membelalakkan matanya. "Cumlaude? Kamu cumlaude?"

Ben tersenyum bangga. "Iya dong."

"Pinter juga kamu, ya."

Adriana tertawa kecil. Gadis itu lalu memandang ke luar jendela kaca mobil. Jalanan di ibukota saat itu sedang ramai lancar, membuat Ben memacu mobilnya dengan kecepatan sedang.

Tiba-tiba sesuatu menarik perhatian Adriana, membuat gadis itu menyipitkan matanya, memfokuskan penglihatannya pada sesuatu itu.

Seketika Adriana merasa seperti terkena serangan jantung. Sekujur tubuhnya membeku. Tak sedetikpun ia melepas tatapannya dari objek itu.

"Stop! Stop!" seru Adriana, membuat Ben terkejut.

"Kenapa?!" balas Ben.

"AKU BILANG STOP!" pekik Adriana sambil melotot pada Ben. Ben pun seketika menepikan mobilnya.

Adriana segera membuka pintu mobil, berlari menghampiri sesuatu yang tadi menyita perhatiannya. Adriana berlari menghampiri adik kandungnya sendiri, Verena.

Menghampiri Verena yang terlihat sedang bermesraan dengan seorang... lelaki paruh baya.

Sambil meneteskan air mata, Adriana meraih tangan Verena dengan kasar.

"Apaan sih..." Verena hendak memaki ketika ia melihat bahwa yang telah menyentuh tangannya dengan kasar adalah Adriana, kakak kandungnya sendiri. "Ka... Kakak?"

"Ngapain kamu disini, ha?" seru Adriana sambil melotot marah. Bola matanya merah, air mata tak henti-hentinya membasahi pipinya.

"A... Aku..." Verena terbata-bata, tak mampu menjawab pertanyaan Adriana.

"Kamu siapa? Kenapa ganggu-ganggu pacar saya?" ujar lelaki paruh baya itu, yang masing menggenggam tangan kiri Verena.

Adriana menoleh pada lelaki paruh baya itu, tatapan matanya penuh amarah.

"Pacar, anda bilang?" ucap Adriana, suara gadis itu rendah, penuh amarah. "Saya minta anda pergi dari tempat ini sekarang dan jangan pernah menemui adik saya lagi."

"Apa? Saya sudah bayar dia, kamu gak ada hak usir saya!" balas si lelaki paruh baya itu.

"Kak tolong..." Verena meraih tangan Adriana.

"DIAM KAMU!" seru Adriana marah. "Dan kamu laki-laki hidung belang, saya peringatkan sekali lagi pergi dari tempat ini dan jangan temui adik saya lagi!"

Lelaki paruh baya itu pun menghembuskan nafas kesal dan akhirnya pergi. "Dasar gak profesional."

"Om!" Verena hendak mengejar lelaki itu ketika tangan kanannya ditarik secara kasar oleh Adriana.

"Verena! Kamu masih mau ngejar om-om itu?!" Adriana menggelengkan kepala, menatap adik satu-satunya dengan tatapan tak percaya. "Kenapa kamu ngelakuin ini semua? Kamu sadar gak sih apa yang baru aja kamu lakukan?!"

BLUETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang