Empat Puluh Delapan

17.7K 866 27
                                    

"Naomi, kenapa kita ketemuannya disini? Kenapa gak di rumah sakit?" 

Naomi menghembuskan nafas berat, ia tahu pertanyaan ini akan muncul cepat atau lambat. Sesungguhnya hingga detik ini pun, wanita itu masih memikirkan bagaimana cara menjawab pertanyaan ini. Setidaknya mengajak Adriana bertemu di sebuah kafe lebih baik daripada mengajaknya ke rumah sakit.

"Adriana, ini agak susah buat dijelasin," ucap Naomi. Ia meraih pergelangan tangan Adriana. "Ada beberapa hal yang harus lo tau, dan yang gak harus lo tau." 

Adriana mulai tak sabar. "Maksudnya apa sih?" 

"Gini, sebenernya gue gak boleh ketemuan sama lo, atau dengan siapapun, dengan maksud untuk membicarakan kondisi Ben. I'm sorry Adriana, tapi aturan ini udah berlaku secara turun temurun. Setiap ada anggota keluarga Mattheson yang lagi terancam kayak Ben sekarang ini, kita gak boleh kasih tau siapapun tentang kondisi yang bersangkutan," jelas Naomi panjang lebar. 

Adriana terdiam. Ekspresinya jelas bingung, takut, gelisah. 

"Cuman anggota keluarga Mattheson, dan tim PR keluarga kami, sekaligus tim pengawal kami yang boleh tau. Gue tau lo adalah calon istri Ben, tapi belom ada ikatan resmi di antara kalian berdua, jadi maaf, lo masih dianggap orang asing buat keluarga kami," terang Naomi. Sejujurnya ia agak menyesal menjelaskan hal ini karena tentunya hal ini akan menyakiti hati Adriana yang sedang tidak stabil. 

"Jadi maksudnya, gue gak boleh jenguk Ben, bahkan gak boleh tau keadaan dia?" ucap Adriana pelan, namun terdengar bergetar. 

"Iya, lo gak boleh jenguk Ben. Gue tau lo pasti lagi khawatir banget, tapi maaf untuk yang ini, gue gak bisa bantu banyak," ujar Naomi lalu menghela nafas. "Tapi gue rasa setidaknya gue bisa kasih tau lo tentang keadaan Ben. I break the rules for that." 

"Jadi gimana keadaan Ben?" tanya Adriana pelan. Ia menatap Naomi lekat-lekat, tatapan matanya seakan memohon, sekaligus takut mendengar jawaban Naomi. 

Naomi menerawang jauh. "Gue gak bisa bohong soal ini dan gue juga gak mau. I'm sorry Adriana, but Ben is far away from okay." 

Adriana tercekat. Jantungnya berdegup amat cepat. Keringat dingin kembali membasahi telapak tangannya, perlahan pun air mata ikut membasahi pipinya. 

"Pelurunya mengenai organ tubuh Ben yang cukup penting. Tadi gue denger, dia akan menjalani operasi besar secepatnya," ujar Naomi. Entah sudah berapa kali ia menghela nafas. Naomi tahu, ia sendiri juga sangat cemas terhadap keselamatan adiknya itu. Satu-satunya yang bisa ia lakukan adalah untuk tetap bersikap tegar, karena bagaimanapun ia jauh lebih beruntung karena ia bisa berada di sisi Ben kapan saja, sedangkan Adriana tidak. Mengetahui keadaan Ben saja Adriana tidak bisa, apalagi melihat Ben dengan mata kepalanya sendiri. 

Susah payah Adriana menahan isak tangisnya. Hatinya sakit membayangkan Ben yang terkapar lemah di meja operasi dengan sejumlah dokter berseragam hijau yang mengelilingi tubuhnya. Belum lagi membayangkan pisau dan alat-alat operasi lain yang para dokter gunakan untuk mengoperasi tubuhnya. Betapa Adriana ingin mendampingi Ben di kala lelaki itu lemah. Namun apa daya, bagi keluarga Mattheson, ia masihlah seorang asing. Seorang yang tidak punya hubungan apapun dengan mereka, seorang yang tidak boleh ikut campur dengan urusan mereka, meskipun nyawa seseorang yang amat ia cintai sedang dalam bahaya. 

"I know it's hard for you Adriana. Gue bahkan gak tau apa gue bisa tetep waras ketika orang yang gue sayang lagi dalam bahaya, tapi gue gak boleh jenguk dia, bahkan tau gimana keadaannya. Karena itu, gue berani break the rules buat ngasih tau lo," ucap Naomi bersimpati pada kesedihan yang Adriana rasakan. Ia sudah menganggap Adriana sebagai adiknya sendiri, terlepas ia akan menjadi adik iparnya atau tidak. 

BLUEWhere stories live. Discover now