Dua Belas

44.1K 2.7K 21
                                    

"Masih mau lari dari saya?"

Adriana menghembuskan nafas panjang, kesal. Ia menutup telpon itu dan kembali ke ruangan Ben. Kini, Charista dan Aura yang bertukar pandang bingung.

"Sst, Char, kenapa tuh anak?" tanya Aura.

Charista mengangkat bahunya. "Gak tau."

----

Adriana menerobos masuk ke ruangan Ben. Apa maksudnya coba lari dari dia?, pikir Adriana. Adriana lalu menutup pintu besar itu di belakangnya, menatap Ben dengan berani.

"Saya gak akan lari, Pak," ujar Adriana sambil melipat tangan di dadanya.

Ben tersenyum jahil. "Bagus kalau begitu. Saya jadi gak perlu ikutan lari untuk ngejar kamu."

Adriana memutar bola matanya, tak percaya pada kata-kata yang barusan ia dengar. "Kalau gitu saya minta maaf udah lari."

Ben sekuat tenaga menahan tawanya. Gue harus kelihatan cool, pikir Ben.

"Tapi lucu ya, dulu kamu tuh jutek banget, well sekarang juga masih jutek sih. Saya jadi pengen lihat, apakah kamu masih akan jutek sama saya sekarang," ujar Ben yang juga melipat tangan di depan dadanya. Ia bangkit dari kursinya, duduk di atas meja kerjanya, tersenyum, dan menatap Adriana menantang dengan mata birunya.

"Saya percaya, gak akan ada yang berubah dari saya," jawab Adriana, sama menantangnya.

"Kamu yakin, Adriana? Saya ini pria yang penuh kejutan. Dan sepanjang yang saya tau," Ben bangkit, mendekat pada Adriana, dan berbisik di samping telinga gadis itu. "Wanita sangat suka kejutan."

Adriana buru-buru menjauh, ia menatap wajah penuh kemenangan Ben, yang tadinya hanya berjarak beberapa cm saja dari wajahnya.

"Keep that confidence of yours," jawab Adriana tegas.

"Alright. Saya belom akan bekerja hari ini, kamu dan saya akan bekerja secara efektif besok. Jadi hari ini kalau kamu mau pulang duluan, silakan."

"Saya tetap akan pulang sesuai jadwal."

"Okay, kalau itu mau kamu."

----

Adriana tiba di atap gedung kantornya. Matanya memandang kilauan sinar matahari yang menyinari gedung-gedung pencakar langit ibukota.

Adriana menghembuskan nafasnya kesal. Pikirannya tak bisa menghilangkan bayang-bayang Ben dalam kepalanya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, berharap pikiran tentang lelaki itu akan menghilang.

"Kenapa sih harus dia? Kenapa? Kenapa? Kenapa?" seru Adriana frustrasi. "Kalo seandainya dia masih kayak dulu sih gak apa-apa. Ini masalahnya dia makin ganteng! God, darimana dia dapetin semua otot di badannya itu? Sejak kapan penampilannya jadi lebih dewasa? Potongan rambutnya jadi lebih rapi, gaya berpakaiannya juga? Damn it, he looks hot as hell with that white shirt and black suit. Kenapa dia sekarang lebih terlihat kayak pria, daripada cowok? And that perfume! Gosh, siapa yang bisa tahan sama wanginya? Gue setengah mati nahan hidung gue supaya gak ngendus-ngendus parfumnya!"

Adriana berteriak kesal.

There's no way I still have feelings for him. Those feelings had died years ago.

"Gue gak boleh suka sama bos gue sendiri. Gue gak akan jadi cewek lugu kayak dulu, yang dengan gampangnya suka sama playboy kayak dia. No, no. Innocent girl no more."

Kalau boleh jujur, siapa yang bisa menahan pesona Ben yang telah bertumbuh menjadi seorang pria sejati? Lelaki itu sudah meninggalkan penampilan acak-acakannya, dan kini sudah berpenampilan rapi. Rambut kecokelatan berantakannya kini sudah berubah menjadi lebih rapi, namun tetap modis. Rambut Ben pastilah hasil karya penata rambut berkelas.

BLUEWhere stories live. Discover now