Delapan Belas

33.3K 2K 30
                                    

Sepanjang perjalanan pulang ke apartment Catherine, Ben hanya terfokus pada jalanan. Ia menyetir Range Rover hitamnya dengan kecepatan yang lebih cepat dari biasanya. Ia ingin segera sampai di apartment Catherine, dan sesegera mungkin melempar gadis ini keluar dari mobil mewahnya.

"Kamu kok diem terus sih, Ben? Kamu capek ya?" tanya Catherine, sambil menyentuh pipi Ben dengan jari-jari lentiknya.

Ben menepis tangan Catherine pelan. "Iya, sedikit."

Catherine tertawa kecil. "Jadi model tuh emang capek."

Ben hanya berdeham, tak tahu harus menjawab apa. Catherine yang tak mau pembicaraannya putus, berusaha mencari topik baru agar gadis cantik itu tetap bisa mengobrol dengan Ben.

"Ben, aku masih simpen lho gelang yang kamu kasih ke aku dulu," ujar Catherine. "Aku bodoh banget ya dulu. Padahal aku tau banget kamu suka sama aku, dan aku juga suka sama kamu tapi aku sok jual mahal."

Ben mendengus. Harga dirinya sebagai playboy sejati rasanya direndahkan oleh gadis ini.

"Kali ini, aku gak akan jual mahal lagi, Ben. Aku tau kamu itu cowok yang berharga, dan gak boleh disia-siakan," ucap Catherine sambil menatap Ben. "Jadi kalo bisa, kasih aku kesempatan kedua untuk nebus semua kesalahan bodoh aku dulu."

"Itu semua cuman cinta monyet, Kate. Kamu gak perlu ngerasa bersalah," sergah Ben, tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan.

Pikiran Ben melayang kembali pada saat-saat ia SMP dulu. Ben dan Catherine bersekolah di sekolah yang sama ketika SMP, namun saat hendak melanjutkan ke SMA, Catherine pindah ke Australia. Semenjak tahun pertama SMP, Ben memang tergila-gila dengan Catherine. Catherine sedari dulu memang selalu cantik, selalu sempurna di mata Ben. Ben pun kala itu mencurahkan segala perhatiannya, melimpahi gadis itu dengan hadiah-hadiah yang tergolong mahal untuk anak seusianya saat itu, berharap mendapat perhatian gadis itu.

Ben juga sangat tahu Catherine menyukainya. Oh, siapa yang tak akan bertekuk lutut di hadapan lelaki tampan itu? Tetapi yang Ben tak suka, Catherine tak ingin menunjukkan ketertarikannya pada Ben. Gadis itu ingin Ben lah yang bertekuk lutut di hadapannya. Jelas saja Ben tak akan melakukannya. Setelah mengetahui kebenarannya, Ben mundur. Ia tak lagi mengejar Catherine. Ia tak menyukai gadis yang suka membuat harga diri Ben hancur, demi menaikkan kepopulerannya sendiri.

Catherine lalu meraih tangan Ben yang sedang menggenggam perseneling, lalu meremasnya pelan.

"I just can't resist your temptation, Ben," kata Catherine. "Tell me you miss me. You still have that big eyes sparkling everytime you see me."

Ben menghela nafas. Ia juga seorang lelaki normal. Tak bisa ia bohongi, Catherine memang semakin cantik. Tentu saja, karena tak mungkin gadis itu bisa menyandang titel supermodel dengan tubuh dan wajah pas-pasan. Ben juga tak bisa menolak pesona gadis itu. Aroma tubuh Catherine yang menggoda, membuat siapa saja ingin mendekatinya, menghirup aroma tubuh seksi gadis itu. Wajah gadis itu, sudah tidak diragukan lagi. Wajah cantiknya yang perpaduan Indonesia-Australia membuat gadis itu menjadi model favorit fotografer dan para perancang busana. Belum lagi bentuk tubuh gadis itu yang sempurna. Amat sempurna bak seorang dewi.

Tetapi, Ben tak membutuhkan kesempurnaan.

"I do miss you, but not that way," ujar Ben.

Catherine menggeleng sambil tersenyum kecil. "Ben, don't lie. I know you. Are you trying to make me beg for you?

Ben mendesah frustrasi. Ia hendak memprotes ketika dirasakannya bibir Catherine mengecup pipinya. Seluruh tubuh Ben kaku. Bola mata biru Ben membelalak, terkejut dengan ciuman tiba-tiba Catherine.

BLUEWhere stories live. Discover now