Empat Puluh Empat

20.4K 1.1K 37
                                    

New York, 2 tahun kemudian.

"Riri, Ibu sama Bapak minta maaf ya karena gak bisa datang kesana menghadiri acara wisuda kamu."

Adriana tersenyum kecil mendengar suara berat Mariana, Ibunya di seberang telepon. Tentu saja, ia sudah menduga hal ini akan terjadi.

2 tahun sudah berlalu, kini Adriana telah menyelesaikan studi S2 nya di Negeri Paman Sam. Semua yang tersisa hanyalah acara wisudanya. Sebagaimana layaknya sebuah acara wisuda, pastilah Adriana ingin semua orang yang ia cintai hadir di acara yang maha penting itu.

Namun Adriana sadar, keluarganya bukan keluarga konglomerat. Sedari awal, Adriana tahu bahwa Ibu dan Ayahnya tak akan mampu membeli tiket pesawat pulang pergi Jakarta - New York, ditambah lagi pengurusan visa yang rumit serta kedua orangtuanya itu belum memiliki paspor. Dan segala keadaan yang sulit ini tak membuatnya sedih berlarut-larut.

"Gak apa-apa, Bu. Adriana ngerti. Untuk bisa kesini kan mahal dan ribet banget. Apalagi Verena mau skripsi. Pasti butuh uang banyak untuk biayain riset dia," ujar Adriana sambil mengganti-ganti channel televisi yang ada di apartemennya. "Toh ini kan wisuda S2. Ibu sama Bapak juga sudah pernah kan menghadiri wisudaan Riri waktu S1 dulu."

Tiba-tiba, Adriana mendengar isak tangis Mariana.

"Ibu? Kenapa nangis?" sergah Adriana panik. Posisi duduknya tegak. "Ada masalah disana? Ibu kesakitan?"

"Enggak, Sayang," ucap Mariana masih sesenggukan. "Ibu terharu dan bangga sekali bisa punya anak yang hebat seperti kamu."

Adriana tersenyum lega. Mendengar orangtuanya berkata bahwa mereka bangga dengan dirinya merupakan prestasi tertinggi dalam hidup Adriana. Dan Adriana patut bersyukur bahwa ia sering mendengar kalimat itu terucap dari bibir kedua orangtuanya.

"Aku bisa begini kan karena didikan Bapak sama Ibu," ujar Adriana. "Harusnya Ibu seneng bukannya malah nangis."

"Ibu nangis karena Ibu bersyukur, Nak. Anak Ibu yang orang kecil ini bisa sekolah S2 di Amerika, dibiayai pula. Bahkan sedari kamu SD sampai S2 sekarang, kamu selalu dapat beasiswa penuh yang amat meringankan beban Bapak dan Ibu. Ibu bersyukur anak Ibu sudah dewasa, punya masa depan cerah, dan juga punya pasangan hidup yang lebih dari sempurna," ujar Mariana panjang lebar.

Pasangan hidup? Maksudnya itu Ben? , batin Adriana. Gadis itu tersenyum geli.

Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir ia bertemu dengan Ben, bahkan berkomunikasi dengan lelaki itu pun amat jarang. Adriana begitu sibuk dalam penyusunan tesisnya, begitu juga dengan Ben yang sibuk dengan pekerjaannya.

Adriana tak menampik, Ia memang rindu dengan lelaki itu.

"Nak?" suara Mariana dari seberang telepon menyadarkan Adriana dari lamunannya. Tak sadar, Adriana tengah melamun sehingga tak mendengar sepatah katapun yang diucapkan Ibunya.

"Ya, Bu?"

"Kamu kenapa diem?" tanya Mariana. "Kamu masih baik-baik kan sama Nak Ben?"

"Masih kok, Bu. Gara-gara Ibu nyebut-nyebut dia, aku jadi kepikiran," ujar Adriana sumringah. Memikirkan Ben selalu mampu membuat Adriana tersenyum lebar.

"Ya sudah, bagus kalau begitu," ujar Mariana. "Ibu tutup dulu ya, Ibu sudah mau tidur, nih."

Adriana melirik jam dinding di hadapannya. Pukul 10 pagi. Malam pasti sudah larut di Indonesia.

BLUEWhere stories live. Discover now