Tiga Puluh Dua

20.9K 1.2K 10
                                    

Pagi hari pukul 6, Jocelyn baru saja sampai di rumah setelah 3 hari berada di London untuk urusan majalah fashion yang dipimpinnya. Saat ia hendak ke kamar tidur untuk beristirahat, ia melihat Ben sedang melakukan sesuatu di dekat taman.

Ngapain Ben pagi-pagi begini di taman?

Jocelyn lalu menghampirinya. Ia bisa melihat senyum lebar menghiasi wajah tampan putra bungsunya. Ia juga bisa mendengar siulan Ben. Sepertinya putra bungsunya ini sedang berbahagia di pagi hari.

"Ben?" panggil Jocelyn sambil menyentuh punggung Ben. Ben mendongak lalu tersenyum. "Kamu lagi ngapain pagi-pagi begini di taman?"

"Berkebun?" gumam Ben.

"Tumben. Ada angin apa kamu jadi pengen berkebun?"

Ben bangkit berdiri. Ia lalu tersenyum lebar. "Ma, aku boleh pake taman belakang rumah kan?"

"Iya boleh, tapi buat apa?"

Ben tersenyum semakin lebar. "Aku mau buat kebun bunga mawar buat Adriana. Her birthday is coming, so I want to give her the most unforgettable gift. I know she likes roses but it will be too standard for her if I get the flowers from the florist. I'd like to grow the flowers myself."

Jocelyn terdiam, tak mampu berkata-kata. Dilihatnya Ben kembali berjongkok, mengerjakan pembuatan kebun bunga mawar yang ingin dihadiahkannya untuk kekasihnya.

"Boleh kan, Ma?" tanya Ben lagi, tanpa menoleh pada Jocelyn.

Jocelyn tak pernah menyangka Ben akan bersikap seperti ini. Jocelyn tahu putra bungsunya adalah playboy sejati saat ia masih SMA. Entah berapa kali ia memarahi Ben yang terlalu boros dulu, selalu membelanjakan pacar-pacarnya dengan kartu kredit unlimited yang difasilitasi olehnya.

Namun selama Nenek Ben sakit, Ben sama sekali tak pernah punya kekasih. Selama 10 tahun ia hampir menutup diri dari pergaulan, kecuali dengan beberapa teman. Jocelyn tahu sendiri bagaimana keadaan Ben saat itu yang sangat terpuruk. Terlebih saat akhirnya Sharon meninggal, Ben seakan-akan kehilangan tujuan hidup. Saat itu Jocelyn putus asa, amat sedih melihat putra bungsunya yang seakan tak ingin melanjutkan hidup.

Maka itu setelah Ben kembali menetap di Indonesia, ia ingin Ben kembali membuka dirinya. Ia mendekatkannya dengan model kesayangannya, Catherine, dengan harapan Ben akan kembali mendapatkan motivasinya untuk hidup. Jocelyn pikir ia akan bahagia jika Ben bersanding dengan Catherine, wanita pilihannya.

Namun sepertinya, Ben memiliki wanita pilihannya sendiri.

Jocelyn tak bisa membohongi dirinya sendiri. Ben memang tampak jauh lebih 'hidup' bersama Adriana, si gadis sederhana itu. Ben sedikit demi sedikit meraih kembali motivasinya. Ia akui, Ben tak pernah tampak sebahagia ini, bahkan sebelum Sharon masuk rumah sakit. Ia melihat perubahan pada diri Ben saat Ben bersama dengan Adriana. Dilihatnya Ben berubah menjadi lelaki yang bertanggungjawab, produktif, dan selalu bersemangat. Gadis itu memang bukan dari kalangan jetset seperti keluarganya, tapi kesederhanaan gadis itu memenangkan hati Ben, memulihkan lelaki itu dari kesedihannya yang mendalam. Ada sesuatu dalam diri gadis itu yang jauh lebih berharga dari sekedar keglamoran hidup yang ia dan orang-orang sebangsanya miliki.

Kebahagiaan sejati seorang Ibu adalah ketika ia melihat anaknya sendiri berbahagia. Maka tak ada alasan bagi Jocelyn untuk menghapus kebahagiaan Ben, putra kandungnya sendiri.

Bagi Jocelyn, kebahagiaan putranya lah yang terpenting.

"Ma?" gumam Ben lagi saat ia mendengar Jocelyn yang tak berbicara sepatah kata pun.

BLUEWhere stories live. Discover now