don't come back for me

26.4K 755 10
                                    


Abrar berlari dilorong rumah sakit setelah beberapa jam  menempuh perjalanan dari Jakarta ke Bandung. Rasa cemas mengalahkan rasa lelahnya. Yang ada dipikirannya hanya keadaan Gladis dan Gabriel. Sampai ia melihat ibu panti sedang menangis dengan Gabriel dipangkuannya yang juga menangis. Ia menghampiri ibu dan Gabriel dengan perlahan. Takut ia akan mendapat berita buruk. Gabriel yang melihat kedatangan Abrar langsung berlari kearah Abrar.

"Daddy..hiks..hiks.. El takut dad. Mommy,hiks..hiks...mommy...hiks...huwaaa maafin El mom..hiks..." tangis Gabriel pecah. Abrar menoleh kearah ibu panti yang menggeleng geleng. Membuat ia menjadi kalang kabut. Ia berdiri didepan pintu IGD tersebut dan melihat banyak selang ditubuh Gladis. Ia menuju kearah ibu panti.

"Ibu, apa yang terjadi pada Gladis sampai dia menjadi seperti ini?" Tanyanya.  Ssedangkan ibu panti tersebut menghapus air matanya.

Flashback

Gladis mencoba menelpon Abrar. Kemarin Abrar ingin menjemput surat perceraiannya dengan Dirga. Ia menempelkan ponselnya ketelinganya.

"Halo ada apa Dis?"

"Kamu dimana Brar?"

"Aku sedang berada dirumah calon mantan suamimu." Mendengar itu, membuat air mata menumpuk diujung matanya.

"Bolehkah aku ngomong sama dia?" Tanya Gladis. Mungkin ini kali terakhirnya ia berbicara dengan Dirga karena setelah itu Dirga sudah tidak menjadi miliknya

"Kamu serius mau ngomong sama dia?"

"Ya, hanya untuk terakhir kalinya, please." Ujar Gladis memelas. Tak lama kemudian ia mendengar suara seseorang yang sangat ia rindukan.

"Hmm, ada apa?"

"Dirga, apakah kamu tidak ingin melihat anak kembar kita? Anak kembar kita pasti merindukanmu. Aku mohon sekali ini sebelum kita bercerai." Mohon Gladis. Namun jawaban Dirga membuat hatinya hancur berkeping keping.

"Aku sudah tidak peduli. Lagipula aku akan memiliki anak dengan Anjel. Dan aku tidak peduli dengan anak sialanmu itu." Hati Gladis bagai dicabik cabik. Sangat sakit. Apalagi ketika Dirga menyebut buah hatinya dengan kata kata sialan. Tidak! Cukup dia saja yang mendapat panggilan itu. Jangan anaknya.

"Arggghh." Gladis mencengkram kepalanya kuat. Bahkan ada beberapa rambutnya yang rontok. Ibu panti menghampirinya.

"Astaga, Gladis. Kamu kenapa nak. Gladis sadar. Ya tuhan jangan sampai bangkit lagi. Gladis sadar nak." Gladis tidak mendengarkan perkataan ibu pantinya. Dia mengcengkram rambutnya.

"Tidak, jangan anakku. Tidak. Tidak." Gladis berlari kearah jalan dan tanpa sadar, ia menabrakkan dirinya keaeah mobil. Ia tergeletak sambil menangis sesegukkan. Kepalanya mengalirkan darah dengan deras. Ibu panti yang melihat itu, hanya bisa memekik memanggil nama Gladis. Tak lama segerombolan orang datang untuk membantu membawa Gladis.

Flashback end.

Tangan Abrar terkepal. Ia tau siapa yang berbuat seperti ini. Ini ulah Dirga. Ia bersumpah akan membalaskan sakit Gladis kepada sialan itu. Seorang dokter menghampiri mereka.

"Maaf, apakah anda keluarganya?" Tanya seorang dokter muda tersebut kearah Abrar. Abrar hanya mengangguk menjawab pertanyaan dokter tersebut.

"Kondisi pasien saat ini sedang dalam keadaan kritis. Kemungkinan kecil ia bisa kembali sadar dalam waktu dekat ini. Jadi, kita hanya bisa menunggu." Ucap dokter itu. Abrar hanya mengangguk lemas karena mendengar  penuturan dokter tersebut.

"Dok, apakah sudah boleh kamj masuk.?" Dokter itu mengangguk.

"Boleh, asal jangan terlalu berisik." Ucap dokter tersebut memperingati. Mereka bertiga pun masuk kedalam ruangan IGD tersebut dengan perlahan. Gabriel mencoba menahan tangisnya. Abrar menutup matanya sejenak. Mencoba menenangkan dadanya yang bergemuruh melihat keadaan Gladis. Tidak ada lagi pipinya yang berisi. Tidaka ada senyumnya. Tidak ada wajah kesalnya. Semua itu hilang tergantikan dengan wajah yang tirus dan pucat.

"Bu, aku keluar sebentar. Aku ingin menghubungi Meira." Izin Abrar kepada ibu panti. Sedangkan ibu tersebut hanya bisa mengangguk. Abrar pergi keluar. Ia ingin menenangkan dirinya. Tujuannya ketaman belakang rumah sakit.

Abrar duduk dikursi taman tersebut sendirian. Tidak lama berselang, air bening jatuh dari matanya. Ia menangisi keadaan Gladis.

"Bodoh, seharusnya aku tidak memberikan ponselku kebajingan itu. Kenapa aku bodoh sekali. Sial! Sialan kau Abrar." Abrar masih menangis menyalahkan dirinya. Dia mengucapkan kata sumpah serapah pada dirinya sendiri. Sampai seseorang menyodorkan sebuah sapu tangan kearahnya.

"Dad, daddy nggak harus menyalahkan diri daddy. Ini bukan salah daddy. Tapi ini sudah jalan mommy. Kita cuma bisa berdoa dad supaya mommy diberi kepanjangan umur." Ujar Gabriel dengan berlinang air mata. Abrar yang mendengar penuturan Gabriel sontak menarik Gabriel kepelukannya. Seharusnya dia yang menghibur anak kecil ini. Bukan dia yang harus dihibur. Tapi Gabriel.

"Yah, benar kata El. Sekarang ayo kita berdoa bersama sama." Ucap Abrar menghapus air matanya. Mereka berdua sama sama mengucapkan doa keselamatan untuk Gladis.

"Gladis, cepatlah sadar. Kami berdua menunggumu disini." Batin Abrar berbicara.

BERSAMBUNG.

Yeeeee....saya bisa update....yuhuuu..
Semoga para pembaca menikmati....

Nikah Muda (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang