wake up baby

29.8K 838 35
                                    


Sudah dua bulan Gladis tidak sadarkan diri. Selama itu pula Abrar menunggui Gladis. Ia hanya pulang satu kali seminggu hanya untuk mencek keadaan perusahaan dan mini marketnya. Gabriel juga tidak berhenti berdoa. Meira yang tidak ada pekerjaan juga ikut menunggui Gladis. Ia dan ibu panti merawat anak kembar Gladis. Terkadang anak kembar Gladis sering menangis. Membuat Meira panik. Ia tidak pernah menghadapi bayi. Namun ketika bayi kembar Gladis diletakkan disisi Gladis, bayi kembar tersebut berhenti menangis dan membuka matanya. Membuat semua yang ada disana takjub. Kasih sayang seorang ibu memang tidak bisa digantikan oleh apapun.
*
*
*
*
*
Hari ini Abrar sedang menuju keruangan Gladis setelah dari kantin. Perutnya tidak bisa diajak kompromi. Ia terpaksa pergi ke kantin rumah sakit. Ketika ia sudah sampai dilorong menuju ruangan Gladis, dari jauh ia bisa melihat ibu panti marah marah pada seseorang yang menyebabkan Gladis koma. Abrar menghampiri mereka dan menenangkan ibu panti tersebut. Ia menatap tajam kearah Dirga.

"Mau apa lo? Mau menertawakan keadaan Gladis? Kenapa nggak lo sumpahin aja biar dia mati." Ujar Abrar mencoba meredam amarahnya. Dilihatnya keadaan Dirga sangat kacau. Diwajahnya ada bekas tamparan.

"Gue, mau minta maaf. Gue tau gue salah. Gue brengsek. Jadi, gue kesini mau minta maaf." Lirihnya. Abrar memejamkan matanya dan menghirup nafasnya pelan.      

"Kenapa baru sekarang?" Tanya Abrar mencoba menetralkan amarahnya. Bagaimana pun ini masih dirumah sakit. Tak lama keluar Meira dari ruangan Gladis sambil menggendong salah satu anak kembar Gladis. Ia menatap dingin kearah Dirga.

"Mei, Gabriel sama Chalven mana?" Tanya Abrar begitu melihat keluar dari ruangan Gladis. Meira mengarahkan dagu kearah pintu serba putih tersebut.

"Apa gue boleh liat keadaan Gladis?" Tanya Dirfa pelan. Abrar kembali menoleh padanya dan melihat tatapan memohon dari mata Dirga. Abrar menghela nafasnya. Bagaimana pun tujuannya saat ini menyatukan keduanya. Walau tidak ia sangka akan seperti ini. Abrar menganggukkan kepalanya membuat Dirga merasa senang sekaligus takut. Takut melihat keadaan istrinya. Akhirnya, Dirga masuk dan mendapati Gladis yang terbujur kaku. Wajahnya yang pucat dan kurus membuat Dirga meringis. Tak jauh dari brangkar Gladis, Gabriel sedang tertidur. Ketika ia berjalan kearah brangkar, ia mendapati seorang bayi laki laki yang ia ketahui bernama Chalven membuka matanya dan menatap wajah Dirga sedih. Ia seakan akan menangis. Tak lama kemudia, bayi yang baru berusia 6 bulan tersebut menangis. Dirga yang terkejut mencoba menggendong Chalven. Ia menepuk nepuk pelan pantat bayi tersebut. Akhirnya, Chalven berhenti menangis dan menatap Dirga dengan tatapan bertanya. Ia mengeluarkan suara kecilnya membuat Dirga menangis bahagia. Ia sungguh menyesal menyia nyiakan Gladis. Sungguh ia mengutuk kebodohannya. Tak lama, pintu berbunyi menandakan ada seseorang yang masuk. Dirga menoleh kearah orang tersebut.

"Kenapa lo malah gendong Chalven? Bukannya lo kesini mau liat keadaan Gladis?" Tanya Abrar yang sedang mengusap usap rambut Gladis.

"Gue...gue nggak sanggup melihat keadaan Gladis. Sungguh, gue minta maaf. Gue salah." Ujar Dirga mencoba menahan air matanya.

"Lo harusnya minta maaf sama Gladis. Bukan sama gue." Ucap Abrar membuat Dirga mengangguk mengiyakan. Dirga menghampiri brangkar Gladis dan menatap wajah kurus Gladis.

"Apa gue boleh nanya?" Tanya Dirga masih memandang wajah Gladis. Abrar menjawabnya dengan gumaman.

"Apa...Gladis membenci gue?" Tanya Dirga lirih. Abrar mengangkat satu alisnya.

"Maksud lo?"

"Apa Gladis benci sama gue setelah apa yang gue lakuin sama dia? Apa gue nggak mungkin mendapatkannya kembali? Apa dia sudah punya pengganti gue?" Tanya Dirga sedih. Abrar hanya tersenyum miring. Mana mungkin Gladis memiliki pasangan kalau setiap malam ia menggigau menyebut nama Dirga. Bahkan ia sempat panas tinggi.

"Lo salah dugaan. Kalau dia benci sama lo, gue nggak mungkin ngungkapin semuanya pada lo. Kalau dia sudah punya pengganti, gue pastikan sebelum 5 bulan pun dia ingin  bercerai dari lo. Gimana mau benci sama lo, kalau tiap malam dia gigau tentang lo?" Ujar Abrar membuat Dirga sedikit berharap. Dirga ingin memperbaiki semuanya kembali. Kalau perlu ia akan bersujud meminta maaf pada Gladis. Namun ia tau, sesalah salahnya dia, Gladis tidak akan pernah membiarkan suamina bersujud meminta maaf. Karena hati Gladis yang lembut.

"Daddy." Suara tersebut membuat Dirga dan Abrar menoleh kearah sofa dan mendapati Gabriel dalam keadaan duduk. Dirga tersenyum melihat anak sulungnya. Ia menghampiri Gabriel namun Gabriel melewatinya. Langsung Dirga berhenti melangkah.

"Daddy, apakah mommy sudah bangun."  Tanya Gabriel kearah Abrar. Dirga terpaku. Sesak rasanya melihat anaknya melewatinya. Namun ini sudah resikonya menelantarkan anak dan istrinya.

Sedangkan Abrar menoleh kearah punggung Dirga. Setelah itu ia menggeleng pada Gabriel. Gabriel menghela nafasnya kasar.

"Dan kenapa daddy biarin orang asing masuk." Hati Dirga tertohok mendengar ucapan anaknya. Ia mencoba sebisa mungkin menahan air matanya.

"El, bagaimana pun dia tetap ayah kamu. Kalau tidak ada dia, mungkin kamu nggak akan ada saat ini. Mungkin kamu nggak akan pernah liat mommy kamu, El." Tegur Abrar kepada Gabriel. Gabriel hanya mendengus kesal.

"Tapi dad, gara gara dia, mommy jadi nggak bangun selama 2 bulan."

"Mungkin, doa dari suaminya bisa membuatnya terbangun.' Ujar Abrar menoleh kearah Dirga yang tertegun mendengar perkataan Abrar.

"Dir, mungkin doa dari orang yang paling disayanginya bisa membuat ia bangun." Ucap Abrar memberi ruang terhadap Dirga. Dirga mengangguk dan mendekat kearah brangkar Gladis. Dirga mulai memanjatkan doanya dengan khusuk. Abrar jufa ikut menutup matanya mengucapkan doa yang yak henti hentinya ia ucapkan. Akhirnya, mereka membuka mata mereka mengakhiri doa mereka. Dirga mundur selangkah. Entah apa yang merasukinya sampai ia melakukan itu. Abrar menatapnya heran namun tak digubrisnya.

"Daddy, apa mommy bangun sebentar lagi?" Tanya Gabriel menatap Abrar harap. Sedangkan Abrar hanya menggeleng lemah. Gabriel tertunduk lesu. Abrar mengusap kepala Gabriel.

"Sabarlah El. Pasti, dan pasti mommy mu akan bangun. Karena banyak yang menantinya disini. Gabriel mengangguk lemah. Namun ia mempercayai perkataan Abrar

"Abr-ar, ak-u haus." Suara lemah tersebut mampu membuat semua yang ada disana menoleh kearah Brankar dan mendapati Gladis yang mencoba menggapai sesuatu. Abrar langsung menghampiri Brankar Gladis dan tersenyum haru. Reflek Abrar mencium dahi Gladis karena saking bahagianya tepat didepan Dirga membuat hatinya menimbulkan sesak.

"Sebentar ya, aku panggilkan dokter." Ujar Abrar melepas ciumannya. Abrar pergi keluar dan tak lama masuk Meira yang menggendong Clara dan ibu panti.

"Yaampun Gladis. Syukurlah kamu sadar nak. Yaampun anakku sadar ya Tuhan." Ujar ibu tersebut memeluk Gladis. Gabriel menangis senang. Ia menaiki tempat tidur Gladis dan memeluk leher Gladis erat.

"Mommy...hiks...hiks... kenapa mommy tidurnya lama sekali? Mommy nggak tau kalau Gabriel kangen sama mommy." Gladis hanya tersenyum lemah.

"El, mommy ha-us." Serak Gladis. Gabriel menyodorkan gelas yang berisi air putih miliknya dan membantu Gladis meminumnya. Tak lama datang Abrar dengan seorang dokter. Gabriel turun dari Brankar tersebut membiarkan dokter memeriksa keadaan mommynya.

"Syukurlah, pasien bisa sadar. Saya ikut merasa senang karena pasien bisa sadar. Namun pasien masih harus banyak istirahat dan tidak banyak pikiran. "Ucap dokter tersebut memasang senyum senangnya. Abrar mengucapkan banyak terima kasih terhadap dokter tersebut. Sampai dokter tersebut pergi berlalu dari ruangan Gladis. Abrar menatap haru kewajah Gladis. Perasaannya saat ini bercampur aduk antara senang, lega dan juga khawatir. Khawatir karenan Gladis akan mengingat kembali kejadian 2 bulan yang lalu.

"Dis, terima kasih kamu mau bangun demi kami. Kami semua merindukanmu Dis. Terima kasih." Ujar Abrar hampir mengeluarkan air matanya. Gladis mencoba menggapai pipi Abrar dan mengusapnya lembut.

"Trima kasih, te-lah merindukanku." serak Gladis. Gladis menatap kesekeliling dan mendapati Dirga menatapnya sedih. Gladis melepaskan tangannya dari pipi Abrar dan meremas tangan Abrar. Ia mengalihkan perhatiannya kelangit langit kamar. Sebelum ia tertidur kembali, ia sempat mengucapkan sebuah kalimat yang membuat Dirga tertohok.

"Abrar, menikahlah denganku."

BERSAMBUNG....

Nikah Muda (REVISI)Where stories live. Discover now