not a drama

28.9K 820 22
                                    


Gladis pov

Hari ini ibu menghampiriku sambil membawa rantang makanan. Wajahku berbinar melihat rantang tersebut. Aku muak dengan rasa makanan rumah sakit. Nggak ada yang enak.

"Nak kamu makan dulu yuk. Ibu udah bawain bubur ayam kesukaan kamu kalau sakit." Aku tersenyum senang karena ibu membawakan bubur ayam. Ibu pun menyuapiku dengan telaten. Sudah lama aku tidak bermanja pada ibu. Sampai akhirnya, suapan terakhir pun membuat aku bersendawa kecil karena kekenyangan.

"Kenyang bu. Masakan jbu emang nggak pernah berubah." Ucapku mengelus elus perutku. Tiba tiba aku teringat sesuatu.

"Oh ya bu, anak anakku mana? Kok sejak tadi nggak keliatan?" Tanya kepada ibu yang sedang membereskan peralatan makan tadi. Ibu menoleh kepadaku dan tersenyum.

"Tadi nak Abrar sama Meira ngajak Gabriel makan diluar. Kalau si kembar sama nak Adit dan suamimu." Aku mengernyitkan dahiku.

"Suami? Maksud ibu Dirga. Kenapa ibu mengijinkan dia menyentuh anakku?" Tanyaku sedikit geram. Ibu menatap mataku dan tersenyum tipis.

"Nak, bagaimana pun nak Dirga tetap ayah mereka. Ia berhak menyentuh anakmu. Ibu tau dia salah. Sebenarnya ibu juga tidak mengizinkan dia menggendong anakmu. Tapi, ibu nggak tega. Dia bahkan sampai berlutut dihadapan ibu. Ibu masih punya perasaan. Ibu tau gimana rasanya dijauhkan dari anak." Tutur ibu. Aku hanya diam.

"Tapi, dia mengatakan anakku sebagai anak sialan. Aku nggak mau bu. Aku nggak sudi. Bukankah dia yang mencampakkan kami?" Aku memandang wajah ibu. Aku marah. Ibu macam apa yang tidak marah ketika anaknya dikatakan sialan. Apa lagi itu benihnya.

"Nak, semua manusia pasti memiliki kesalahan. Nggak ada manusia yang sempurna didunia ini. Bahkan seorang alim ulama pun pernah melakukan kesalahan. Tapi, kita hanya bisa memaafkan. Memberi dia kesempatan untuk memperbaiki. Ibu tau nak, jauh didalam lubuk hatimu kamu masih mencintai Dirga. Mengkhawatirkan keadaannya. Dan jauh didalam hatimu, kamu nggak mau anakmu mengalami yang namanya broken home. Anak anakmu masih membutuhkan kasih sayang nak. Jika Allah bisa memaafkan, kenapa kamu tidak sayang?" Ujar ibu dengan lembut seeaya mengusap rambutku. Benar, aku memang tidak menginginkan nasib anakku sama dengan nasibku. Tapi, sakit yang aku rasakan tidak bisa aku lupakan dengan semudah itu. Siapapun akan lebih baik pergi daripada mengingat hal menyakitkan itu.

"Nak, kalau kamu ingin semuanya berjalan baik, maka beri dia kesempatan. Kesemparan untuk memperbaiki apa yang dirusaknya."

"Nak, kamu tau. Bapak lebih parah dari kamu. Suka main perempuan, dan juga melakukan kekerasan pada ibu. Tapi ibu selali berdoa. Mendoakannya untuk bisa berubah. Selalu sabar menghadapi sikapnya. Tapi kamu liat kan, Bapak berubah. Dia bahkan membasuh kaki ibu meminta maaf. Kamu harus tau nak, dengan do'a, semua bisa berubah." Ibu mencoba memberi pengertian kepadaku. Tidak. Tidak mudah menghilangkan rasa sakit. Memang tidak berdarah, namun kenyataannya lebih sakit daripada ditusuk 1000 jarum.

"Aku sudah memberikannya waktu selama hampir setahun. Tapi apa? Walau aku berdoa. Dia tidak pernah menjemputku. Tidak pernah meminta maaf padaku. Bahkan saat aku melahirkan anakku, dia dengan bangganya bermesraan dengan selingkuhannya. Padahal dia masih memiliki istri dan anak sebagai tanggung jawabnya. Aku tidak sudi memaafkannya." Ujarku memandang tajam wajah ibu. Baru kali ini aku memandang wajah ibu seperti itu dan kulihat ibu langsung terkejut dengan perubahan air mukaku. Katakanlah aku durkaha, namun aku sudah tersulut emosi. Kenapa kedua orang yang melihat deritaku ingin mempersatukanku dengan si brengsek itu. Itu sama mereka ingin melihat derita keduaku.

"Nak, ibu cuma ingin kamu tidak gegabah. Kamu harus memikirkan anak anakmu. Kam-"

"Aku bisa cari ayah baru buat mereka." Potongku. Sungguh aku tidak ingin membahas ini lagi. Kulihat ibu membulatkan matanya.

Nikah Muda (REVISI)Where stories live. Discover now