[3] PERJODOHAN

8.2K 382 19
                                    

"Udah? Udah siap ngomongnya?" Pekik gadis itu sembari berdiri dari kursinya.

Ia melanjutkan, "Papa gak pernah ngertiin Ra! Papa selalu ngambil keputusan semau Papa! Papa tahu kenapa Ra pergi ke klub? Ra kesepian, Pa. Kesepian! Papa selalu sibuk dengan bisnis! Papa gak ada waktu buat Ra. Baru beberapa hari ini saja Papa di rumah, kan? Kemarin ke mana saja?! Ke luar negeri terus! Bisnis terus!!! Ra gak ada tempat untuk nuangin keluh kesah hati Ra. Ra kangen sama Mama. Papa gak bisa jadi ayah sekaligus ibu buat Ra. Ra bisa apa? Hiks... Hiks..."

Gunawan hanya bisa terdiam melihat putrinya yang penuh emosi.

"... Kita memang punya banyak harta, tapi kalau di keluarga sendiri merasa asing buat apa? Beban Ra banyak, Pa... Ra harus ini lah itu lah... Semua peraturan Papa harus Ra lakuin. Ra juga punya dunia sendiri. Papa selalu nasehatin Ra soal agama, tapi apa yang Papa nasehatin gak Papa lakuin. Papa maunya apa? Apa, Pa??? Huhuhu..."

Air mata gadis itu tumpah. Suaranya bergetar, tanda emosinya memuncak. Ia menangis sejadi-jadinya.

Ia melanjutkan, "Sekarang Papa mau ngatur hidup Ra lagi? Memangnya dengan dalih harta warisan, Papa bisa seenaknya ngatur kebahagiaan Ra dengan pernikahan? Pa, Ra bukan barang titipan!"

Gunawan tak pernah melihat putrinya semarah itu. Apakah yang ia lakukan selama ini salah dan melewati batas?

Semenjak kepergian istrinya, ia disibukkan dengan pekerjaan yang menuntut setiap waktu hingga tidak sempat memperhatikan putrinya.

Kepalanya menunduk, mengacak-acak rambutnya, dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia berusaha berbicara tapi wanita yang masih penuh emosi itu menghalanginya.

"Kira... Sayang... Maafin Papa, ya..." Gunawan mencoba mengelus rambut putrinya dan ingin segera memeluk tubuh yang mulai lemas itu.

"Ra???..."

Nihil, Kira berlari pergi menuju kamarnya.

***

DANG DING DUNG TAK TAK TAK DANG DING DUNG JEG JEG JEG

Suara musik di klub menggema. Lampu berkelap-kelip menambah nuansa ramai di sana. Senda gurau tak luput dari perhatian para pengunjung. Siapa lagi kalau bukan The Girls. Merekalah yang meramaikan tempat 'haram' itu.

Seorang wanita mendekati mereka. Perempuan dengan wajah sayu dan terlihat stress.

"Lo? Ngapain di sini? Mending lo pulang. Gak usah nambah-nambahin masalah kita deh, Ra." Teriak Dara.

Kejadian kemarin malam membuat sifat teman-temannya berubah. Kecuali Ivan, pacarnya.

"Eh... Jaga mulut lo, ya. Bisa-bisanya lo ngomong gitu ke pacar gue." Jari telunjuk Ivan mengarah tepat ke wajah Dara.

"Apaan sih, lo. Biasa aja kali. Lo nyadar gak kalau ni anak nyusahin kita? Bokapnya juga bisa lakuin apa aja ke kita. Lo mau kita masuk penjara? Hah? Gue sih ogah. Lo pacarin aja nih anak biang masalah."

"Jaga mulut lo!" Tegas Ivan.

Pandangan Ivan kemudian menatap teduh gadisnya. "Sayang... Kamu ngapain di sini? Pulang, gih. Ntar kalau Papa kamu marah, kita juga yang disalahin." Suara lembut Ivan memang selalu membuat wanita luluh. Tak bisa dipungkiri bahwa itu benar adanya.

"G-gue... Gue... Gue mau minta maaf sama lo semua atas perlakuan Bokap gue kemarin. Hmm... Semalam gue juga berantem sama bokap setelah kalian pulang. Dan, ya.. Gitulah."

"Hah? Maaf? Emang udah lebaran, ya? Kok aku gak tahu? Oo yaudah... Mohon maaf lahir batin ya, Kira." Tangan Pika menjabat tangan Kira.

"Lo apaan sih, Pik. Gue remes juga deh lo. Lo juga kak, ngapain sih belain dia? Mentang-mentang dia pacar lo, gitu? Dih. Basi. Toh dia juga bakalan ninggalin lo. Percaya sama kata-kata gue." Caca merasa pasti.

Lelaki Pilihan (Season 1 & 2)Where stories live. Discover now