(25) EMOSIONAL

2.9K 169 43
                                    

"Tidak ada yang sanggup bertahan dengan kesepian. Ketika kerinduan datang maka hadir yang menjadi obatnya. Ketika pondasi bangunan roboh, maka renovasi yang menjadi pilihan terakhirnya. Tidak ada satupun manusia yang luput dari kesalahan. Hanya saja, sedikit manusia yang menyadari bahwa Tuhan-nya Maha Pemaaf."

-Author

____________

Ruangan itu masih sama. Suasana di dalamnya juga masih sama. Kira belum juga sadar dari pingsannya. Wajahnya pucat dan Rizky selalu ada di sampingnya kala itu. Gunawan, Rani, dan Tyo memutuskan untuk membiarkan mereka berdua di dalam, sementara mereka membicarakan permasalahan mereka di ruang tamu.

"Sekarang harus bagaimana, Pak Gunawan yang terhormat?" Tanya Rani dengan nada sombong.

Tyo melanjutkan, "Ya, dia hamil. Dan pasti menambah beban Rizky untuk merawatnya. Memang dari dulu keluarga kalian itu selalu menyusahkan orang, ya?! Dari bibit, bebet, bobotnya masiiiiihhhh sama saja. Sudahlah, tidak ada yang perlu kita bicarakan lagi saat ini. Aku sudah muak. Pergi dan bawa anakmu jauh-jauh dari rumah ini. Ceraikan saja jika perlu. Hah! Sampah!" Tegas Tyo yang berbicara mengarah ke luar jendela dengan kedua tangan yang berada di kantung celana.

"APA?! SAMPAH?!! Berani sekali kau mengatakan putriku sampah?! Hey Tyyyyoooo! Berkacalah dari masa lalu agar membuatmu lebih dewasa ke depannya, bukan justru malah seperti anak-anak yang penuh belas kasihan seperti ini. Tolonglah bersikap dewasa, ingat umur juga, sudah bau tanah." Balas Gunawan.

Suara ribut dari luar mengambil alih pendengaran Rizky. Ia keluar dan berdiri di depan kamar.

"Gak perlu sok dewasa Pak Gunawan. Gak perlu. Sudahlah, bawa Kira dan bayinya jauh-jauh dari sini. Memang ya kalau perempuan 'penjilat' itu susah untuk dimusnahkan." Sambung Rani sembari menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Apa, Ma? 'Penjilat'? Istriku Mama bilang seperti itu???!..." Kata Rizky yang berbicara dengan menggumpalkan kedua tangannya.

GUBRAK!!! Ia memukul tembok hingga tangannya lebam. "AAAAAAARRRRRGGGGHHHHH!!!!!!!!!... Keluarga macam apa ini???!!!!!!!!!.." Ia marah. Kemarahannya membuat ia tidak sadar. Ia membanting semua barang yang ada di dalam rumahnya.

"...Dasar tidak berguna!!!!! Orang tua yang tidak pernah mempunyai empati! Celakalah. Celakalah!!!! ARRRGGGHHHH!!!!!" Ia terduduk dengan kepala menunduk masih dengan emosi yang mengerumuninya.

Tidak seorang pun yang berani menghalangi Rizky akan kemarahannya, bahkan orang tuanya sekalipun. Mereka tidak menyadari bahwa Rizky akan semarah itu dan kemarahannya kali ini adalah yang baru pertama kalinya mereka saksikan.

"Nak... Bukan begitu maksud Mama..." Rani berjalan dengan langkah hati-hati dan mulai mendekati Rizky untuk meredakannya. "Maksud Mama..."

"CUKUP, MA. CUKUP. Kalau itu mau Mama sama Papa, menjauhkan Kira dari saya, lebih baik saya mati saja. Saya mati saja!" Ia bergegas berdiri, langkahnya cepat menuju dapur, mencari pisau.

"Ky... Ky... Apa yang kamu lakukan??!" Tyo resah jika Rizky akan berbuat yang tidak-tidak.

"Rizky!" Mereka semua menyusul Rizky ke dapur.

"Ini... Ini kan yang Mama sama Papa Mau?!" Ia memegang pisau di tangannya dan siap menggores nadinya. Sementara Rani bergelimang air mata.

"Nak... Jangan seperti ini, Nak... hiks hikss.... Mama bisa gila kalau kamu melakukan ini. Hiks hiks..." Mohon Rani sembari berlutut.

"Pakai akal kamu Rizky!" Pinta Tyo dengan tegas.

"Ky... Istighfar... Jangan biarkan syetan merasuki dirimu. Ingatlah bahwa manusia tak pernah luput dari dosa. Sudahlah... Serahkan semua pada Allah dan biarkan Dia yang mengatur semuanya. Lihat dan pikirkanlah... Kira sedang terbaring di sana, dia sedang mengandung anak kamu, mereka sedang berjuang untukmu. Mereka butuh kamu agar ada di sana. Sudahlah, Nak. istighfar. Jangan buat senyum Kira menghilang untuk selamanya.." Gunawan mencoba meredakan amarah Rizky.

Jangan buat senyum Kira menghilang untuk selamanya... Kalimat terakhir yang Gunawan ucapkan menyadarkan Rizky. Pisau yang ada di tangannya terlepas begitu saja. Ia terduduk dan beristighfar bersama derai air mata yang terus membasahi pipinya yang putih kemerah-merahanan itu.

"Astaghfirullah. Yaa Allah... Apa yang sudah saya lakukan???" Ia terduduk, kemudian pandangannya tertuju kepada ibunya yang masih berlutut. "Astaghfirullah, Ma... Bangun, Ma. Maafin saya. Maafin saya ya, Ma, Pa. Saya khilaf..." Ia benar-benar menyesali perbuatannya. Kemudian ia berwudhu untuk melaksanakan sholat dan bermunajat kepada Allah, memohon ampun atas perbuatan yang telah ia lakukan.


_______________
Bersambung...

Lelaki Pilihan (Season 1 & 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang