(SEASON 2) - [19] PULIH

333 19 1
                                    

Sepulang dari pemakaman, Ivan membongkar rak bukunya, mencari sesuatu yang seolah harus diberikan kepada seseorang yang dimaksud si empunya buku.

Didapatinya buku bersampul biru dengan lukisan cantik sebuah negara di mana pernah terjadi pembantaian muslim besar-besaran di sana, Bosnia.

Apa ini sudah waktu yang tepat? Batinnya. Walaupun buku ini tidak memiliki kunci seperti buku privasi lainnya, tetap saja aku tidak berniat untuk membacanya, meskipun aku ingin tahu apa isi di dalamnya.

'30 Pesan dari Bosnia UNTUK ISTRIKU'. Judul yang menarik. Oh, ada note kecil di bawahnya, "Adek.. Buku ini adalah satu-satunya cara Mas untuk membimbingmu dari jauh. Bacalah jika kau sedang rindu." Romantis juga dia.

Eh, tunggu. Pesan? Membimbing dari jauh? Berarti selama ini dia sudah tahu akan "pergi"? Ivan tersentak.

TOK TOK TOK!!!

"Kak, ada Dara di luar." Sahut Caca di depan pintu Ivan.

"I-iya." Seolah ada teka-teki yang harus aku pecahkan. Hmm... Aku akan cari tahu nanti.

***

BRAK! Ali membuka pintu dengan keras setelah panik selama di perjalanan.

"Di? Kira di mana? Kamu baik-baik saja?" Tanyanya pada Diana yang sedang memijit tubuhnya akibat terbentur dinding.

"Tuh, Kira sedang tidur. Dokter tadi memberinya suntikan penenang."

"T'rus kamu kenapa? Baik-baik saja? Kamu bilang Kira berusaha mencelakaimu?"

"Iya, tadi dia membenturkan tubuhku ke dinding."

"Astaghfirullah... Parah, gak? Cek ke dokter gih mumpung lagi di rumah sakit."

"Ah, paling juga cuma memar."

"Coba sini kulihat." Ali mendekati Diana, mencoba menyentuh tubuh belakangnya.

Diana langsung menghindar, "Woi! Gila, ya?"

"Eh?" Ali tersadar. "Astaghfirullah... Maaf, Di... Refleks. Namanya juga khawatir." Kata Ali, malu.

"Khawatir kok modus."

"Gak modus, tuh."

"Trus apa?"

"Usaha."

"Hiliihh..."

"Tapi, kamu memang baik-baik saja, kan?"

"Iya, santai aja kali.. Wanita kan kuat."

"Hahaha...."

Mereka berdua tertawa. Memecahkan keheningan. Kemudian sama-sama diam.

"Al..."

"Di..."

Mereka bersahutan bersamaan.

"Eh, lo duluan aja." Kata Diana.

"Ladies first." Tepis Ali.

"Gue mau nanya, gimana sih perasaan lo saat tahu kalau Kira itu ternyata adik kandung lo?"

Ali duduk dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Hhhaaahhh... Ya.., begitulah. Sakit hati ada, kecewa ada, dendam juga ada. Tapi, lagi-lagi aku berpikir, untuk apa aku terus-terusan merasa seperti itu? Toh gak ada juga yang berubah."

"T'rus gimana perasaan lo sekarang saat melihat Kira seperti itu?" Diana melirik ke arah Kira yang sedang terbaring lemas.

"Wajahnya mengingatkanku pada cinta pertama yang tidak berhasil. Hahaha... Tapi yang terpenting dari itu semua adalah, kini aku menyayanginya sebagai adik kecilku. Aku merasa bodoh dan menyesal karena pernah menyulitkan hidupnya dulu. You know what i mean, Di..."

"Ya, gue juga ngerasa gitu, sih... Tapi, dibanding lo, apa yang gue lakuin ke Kira lebih jahat dan gak tahu diri." Diana menunduk. "... Bisa-bisanya dulu gue ingin merebut suaminya, jadi orang ketiga dalam pernikahan mereka yang tak pernah goyah."

"Sudahlah. Itukan juga masa lalu. Jadikan pelajaran aja. Yang penting sekarang semuanya sudah berjalan normal, hanya tinggal menunggu kapan Kira akan benar-benar mengikhlaskan takdirnya." Kata Ali sembari menatap teduh ke arah Kira.

"Lo merasa gak sih? Daripada bahagia, pernikahan adik lo lebih banyak derita?"

"Tentu saja. Dan kini, saat semuanya sudah berjalan lancar dan baik-baik saja tanpa halangan, Allah justru mengambil sumber kebahagiaan dalam hidupnya. Tanpa aba-aba, sebulan pergi keluar negeri untuk urusan bisnis, saat pulang malah menghadirkan jutaan tangis. Kasihan. Adikku yang malang." Wajah Ali risau.

"Iya ya..." Begitu juga dengan Diana, dia merasa sangat menyesal dan malu atas perbuatannya dulu.

"Padahal, kamu tahu tidak? Kira sudah berada di Bosnia saat itu untuk memberi Rizky kejutan akan kedatangannya yang tiba-tiba. Sayangnya saat itu Rizky sedang berada di kota lainnya, Mostar, untuk urusan pekerjaan. Dan saat hendak pulang, dia langsung dilarikan ke rumah sakit oleh Ivan. Lebih naasnya lagi, saat tiba di rumah sakit, Rizky sudah meninggal." Jelas Ali.

Diana hanya diam.

"... Bahkan dia belum sempat melihat senyum suaminya." Lanjut Ali.

Jadilah wanita yang kuat, Ra. Maaf atas kesalahanku padamu dulu. Batin Diana sembari menatap iba ke arah Kira.

"Mas..." Sahut Kira yang setengah sadar.

Ali bergegas menuju ranjangnya. "Ra, ini Kakak..."

Matanya mulai terbuka sempurna, "Huhuhu..." Dia menangis lagi.

Kira mencoba untuk duduk, kemudian Ali memeluknya, "Tidak apa, Ra... Menangislah... Kakak di sini."

"Apa Mas Rizky sudah dimakamkan?"

"Sudah, beberapa menit yang lalu."

"Huhuhu...."

"Jika kamu sudah baik-baik saja, apa mau Kakak antar ke pemakamannya?"

"Ra belum siap, Kak... Hiks... Hiks..."

"Yasudah tidak apa. Kakak akan tunggu kapanpun kamu siap." Kata Ali sembari mengelus kepala Kira.

Pandangan Kita tertuju pada Diana yang duduk searah dengannya, "Di, maafin saya... Sungguh, saya tidak sadar melakukan itu padamu."

"It's okey, Ra. Aku paham kok." Jawab Diana sembari melemparkan senyum. "Kau harus kuat, ya. Aku tahu kau pasti bisa melewati semua ini."

Kira mengangguk.

"Kamu mau langsung pulang ke rumah? Kata Dokter, jika kamu sudah merasa baik-baik saja, kamu boleh langsung pulang." Kata Ali.

Kenangannya masih begitu terasa. Batin Kira. "Tapi, tidak masalah kan jika Ra ingin tetap di sini sementara, Kak?"

Ternyata lukanya belum sembuh. "Jika kamu tidak ingin pulang ke Hanania, kamu bisa tinggal di rumah Kakak dulu kok sama Papa."

"Tidak, tidak perlu. Ra hanya butuh beberapa hari saja di sini. Di tempat yang tidak ada kenangan apapun tentang Mas Rizky."

"Baiklah, Kakak tidak akan memaksa."

"Oiya, Kak, kandungan Kira bagaimana?"

"Baik-baik saja." Sambung Diana. "Hanya saja, kau jangan terlalu stres, itu tidak baik untuk bayimu ke depannya."

Kira mengangguk paham. "Astaghfirullah... Astaghfirullah..." Dia beristighfar. "Apa yang sudah Ra lakukan..." Kata Kira yang menyesali perbuatannya.

"Kamu mau makan? Sejak kembali dari Bosnia, kamu belum ada makan sama sekali." Tanya Ali, menawarkan.

"Ra tidak lapar, Kak. Hmmm... Mungkin buah saja cukup."

"Yasudah, sebentar ya, biar Kakak siapkan untukmu." Ali mengambil buah yang ada di meja dan memotongnya. Mereka saling bercengkrama untuk melupakan kesedihan yang ada.

"Ra, maaf jika aku mengajukan pertanyaan ini, tapi, apakah kau berniat untuk menikah lagi?" Tanya Diana.

Seketika Kira terdiam.


_____________
Bersambung...

Lelaki Pilihan (Season 1 & 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang