[9] HARAP

6.3K 322 11
                                    

Sore yang cerah itu menutup letih Rizky setelah seharian berdagang. "Alhamdulillah..." Kalimat rasa syukur terucap dari mulut laki-laki yang sedang menyapu peluhnya.

Kemudian,
"Assalamu'alaikum..." Sahut Rizky mencoba mengucap salam dari teras rumah.

Nihil, tidak ada jawaban sama sekali.
Saat ia mulai menarik gagang pintu, terkunci.

Kira... Kemana dia? Jam segini kok belum pulang? Saya khawatir. Batinnya, sembari ia mengintip rumah dari luar jendela.

Ia segera mengambil ponsel dan hendak menelpon gadis berambut ikal terurai itu, namun tiba-tiba sebuah taxi berhenti tepat di depan rumahnya. Sontak hal itu menarik perhatian Rizky saat ia melihat perempuan yang ia khawatirkan keluar dari dalam taxi dengan raut wajah tidak karuan.

"Terima kasih, Pak." Kata Kira dengan lemas kepada supir taxi.

"Kira, kamu dari mana? Kenapa baru pulang jam segini? Kemana saja? Kok gak ngabarin saya?" Sungguh ekspresi  khawatir yang teramat sangat jelas tampak di wajah Rizky. Ia menyuguhkan seribu pertanyaan kepada wanita di hadapannya.

"Jangan bising! Aku capek!" Balas Kira dengan nada bicara cukup tinggi dan langsung memasuki rumah tanpa bicara sepatah dua patah lagi.

Rizky paham akan hal itu. Melihat raut wajah Kira, ia tahu bahwa perempuan itu tidak ingin diganggu saat ini.

Rizky tidak mengerti sebenarnya apa yang terjadi. Mungkin besok akan kutanyakan. Pikirnya.

***

Sebuah bantal empuk kini berada di pangkuan Diana. Ia masih gelisah lantaran mengingat kejadian pagi tadi. Ia sudah berusaha untuk berhusnudzhan, namun terkadang perasaan dan pikiran tidak pernah seimbang.

Perempuan itu siapa, sih? Ah! Benar-benar mengacaukan malamku saja. Apa dia??? Enggak. Gak mungkin. Diana... Keep calm... Santai, Di... Gak mungkin itu istri Rizky. Kalau benaran hal itu terjadi, maka aku yang pertama kali menolak! Tegasnya dalam hati sembari meremas bantal.

Diana melirik sekilas dari jendela kamarnya yang berseberangan dengan dapur rumah Nomor 21 B itu.
Sepi. Tidak ada keramaian yang terlihat di sana.

Rizky sedang apa, ya?

Ia melirik jam, pukul 21:30 tepat. Selamat tidur my prince. I will stay here for you. For us! For our love! Ia menegaskan kata-kata itu dalam hatinya.

***

Pagi terasa lebih cepat menghidupkan cakrawala. Mentari yang bersinar di ufuk timur, embun yang menetes membasahi daun, hembusan angin pagi dengan segarnya, menambah nuansa ceria berkelabut tawa di wajah lelaki yang baru saja menyelesaikan sholat shubuh.

Ia berdiri di antara tanaman bonsai di terasnya, menarik nafas dalam dan menghembuskannya keluar dengan ikhlas. Ya Allah... Kuasa-Mu...
Seketika ia teringat Haris, seniornya di pesantren kala itu. Seorang sahabat sekaligus kakak yang selalu menjadi kebanggaannya. Ia mengambil ponsel dan mulai menelpon, berharap nomornya masih aktif lantaran Rizky belum pernah menghubunginya pasca pernikahan.

"Alhamdulillah telponnya nyambung..."

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, le..." Sahut lelaki dewasa di sebrang telpon sana.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh, Mas. Alhamdulillah... Piye kabare?"

"Alhamdulillah apik. Riko piye?"

"Alhamdulillah apik juga, Mas."

"Eneng opo nelpon pagi-pagi?"

"Ora popo. Tiba-tiba ingat Mas saja. Gimana pesantren? Ustadz, piye? Sehat?"

Lelaki Pilihan (Season 1 & 2)Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ