[28] PEMBATALAN

2K 85 10
                                    

Suasana malam itu kian mencekam.

"Papa... Istighfar, Pa... Hiks.. Hiks..."

Mendengar tangis putrinya, Gunawan segera sadar atas apa yang baru saja ia lakukan. "Astaghfirullah... Astaghfirullah.. Apa yang sudah kulakukan." Ia terduduk sembari menunduk dan memegang dahinya.

"UHUK-UHUK!!!" Rani masih terbatuk. Ia menjauh dari Gunawan, takut. "K-kau gila Gunawan. Sungguh!"

"M-maafkan aku, Rani.. Aku tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Aku tidak mengerti seketika aku tidak bisa mengontrol emosiku. Kurasa penyakit lamaku kambuh lagi."

"*Intermittent Explosive Disorder (IED)?"

"Iya, kurasa begitu. Aku benar-benar minta maaf atas perbuatanku. Maaf membuatmu takut. Aku harus pergi." Gunawan pun pergi dari rumah itu, khawatir emosinya semakin memuncak.

Dia benar-benar membuatku takut. Batin Rani. Eh? "PAPA!" Teriaknya kepada Tyo yang masih pingsan.

"Apa maksud Mama mengatakan itu kepada Papa Gunawan?!" Emosi Rizky kesal diiringi pikiran yang bertanya-tanya. "Apa benar Papa kamu pembunuh, Dek?"

"Mas.. Papa gak mungkin pembunuh. Adek yakin pasti ini hanya kesalahpahaman saja. Hiks.. Hiks.."

Malam itu sungguh dingin dan mencekam. Hujan yang tiba-tiba turun derasnya semakin mendeskripsikan ketegangan dan kegelisahan yang terjadi di kamar itu.

"Mas... Mas percayalah... Hiks.. Hiks.." Tangis Kira kian pecah.

Mendengar itu, Rizky segera memeluk istrinya, "Ssstt... Ssttt... Tenang Sayang.. Jangan menangis seperti ini... Iya, Mas percaya sama kamu. Jadi, tenanglah.." Katanya, mencoba menenangkan Kira.

"Mas, Adek mau ketemu semuanya besok. Adek mau minta penjelasan, hiks.. hiks.."

"Lebih baik kamu tidak usah memikirkan ini, Sayang. Biar Mas saja yang cari tahu semuanya, ya. Kamu istirahat saja. Jangan stres." Dekapnya.

"Tolong, Mas... Izinkan Adek ikut. Dari perkataan Mama Rani sepertinya sumber masalahnya ada di Papa Adek. Adek mau ikut, Mas.. Adek mau tahu apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka di masa lalu. Kenapa Papa dicap sebagai seorang pembunuh? Hikss.. Hiks.. Papa tidak bersalah, Mas.." Kata Kira yang berbicara sesenggukan.

"Baik.. Baik.. Kita akan temui mereka semua besok. Tapi dengan syarat sekarang kamu harus berhenti nangis dan istirahat. Ayolah, Sayang... Mas sungguh khawatir."

Kira mengangguk dan bersiap-siap tidur.

***

Di satu rumah terasa seperti penjara yang mencekam. Di rumah lainnya seperti penginapan yang terasa hangat. Isma, Rahmat, Diana, Ali, dan Fauzan ayahnya sedang berada di ruang tamu.

"Hm.. Katanya Nak Ali ada yang mau dibicarakan dengan kami tentang perjodohan?" Tanya Rahmat memulai percakapan.

'Eh? I-iya, Om. Begini.. Maaf sebelumnya, tapi saya dan Diana hendak membatalkan perjodohan ini." Kata Ali, gugup.

Perkataan Ali membuat orang tua kedua pihak terkejut. "Memangnya kenapa?" Tanya Isma dan Fauzan bersamaan.

"Kami sudah menyukai orang lain, Ma." Sambung Diana.

"Siapa?" Tanya Rahmat.

"Kau sudah menyukai gadis lain, Al? Tanya Ayahnya. "Kenapa tidak pernah bilang apa-apa pada Ayah?"

Ali dan Diana hanya diam, seolah masing-masing dari mereka tahu bahwa orang tuanya tidak akan pernah setuju jika tahu kalau mereka menyukai wanita dan laki-laki yang sudah berumah tangga.

"Huuufffhhh.." Rahmat menghela nafas panjang. "Kalau sudah begini, apalagi yang mau dikata."

"Benar. Mohon maaf Mat, saya tidak tahu kalau Ali sudah menyukai wanita lain. Kalau memang ini keputusan mereka berdua, yaaa mau bagaimana lagi.." Kata Fauzan.

Rahmat dan Isma mengangguk. "Kami juga tidak tahu kalau Diana sudah menyukai lelaki lain, Zan. Kami juga minta maaf atas kesalahpahaman ini."

Mendengar itu Ali segera buka suara, "Kalau begitu kami pamit dulu ya, Di, Om, Tante.. Terima kasih atas waktunya." Ali berpamitan dengan Diana dan orang tuanya. "Terima kasih juga sudah menerima keputusan kami dengan ikhlas."

"Buru-buru sekali, Nak Ali?" Tanya Isma.

Ali hanya tersenyum. Untuk apa berlama-lama di "tempat" yang tidak seharusnya jadi pelabuhan terakhir? Batinnya.

"Wahhh.. Sungguh disayangkan sepertinya kita gagal jadi besan nih, Zan." Ejek Rahmat.

"Hahaha.. Begitulah, Mat. Masa-masa mereka ini alurnya memang sulit ditebak." Balas Fauzan.

"Hahaa.. Benar. Kalau begitu hati-hati ya, Zan, Nak Ali. Hujannya deras loh." Kata Isma, Mama Diana. Ali hanya tersenyum mengangguk.

***

Matahari bersinar terik pagi itu. Seorang pria memakai baju koko berdiri di depan pintu rumah bernomor 21B.

Kenapa sepi sekali, ya.. Mobil Rizky juga tidak ada. Gumamnya sembari menatap sekitar.

TING NONG! TING NONG! TING NONG!

Gak ada yang bukain pintu juga. Apa Rizky ndak ada di rumah, ya? Kemana dia? Biasa juga selalu memberi kabar.

CEKLEK!

Seorang wanita dengan aura seram keluar dari rumah itu. "Anda siapa, ya?" Tanya Rani.

Bukannya sudah pernah bertemu? Kenapa beliau lupa denganku? "Anu.. Saya Haris, teman Rizky waktu di pesantren."

"Hm.. Ada urusan apa ya kemari?"

"Saya ingin bertemu Rizky dan hendak menginap di rumah ini selama beberapa hari, Bu.."

Rani memperhatikan Haris dari bawah ke atas. "Ha? Menginap? Yang benar saja. Mana ada istana isinya gelandangan. Pergi sana!"

BLAM!

Sadis..

Aneh. Pasti ada sesuatu yang terjadi pada Rizky. Aku harus menghubunginya. Batin Haris, cemas.

_______

*Intermittent Explosive Disorder (IED) adalah ketidakmampuan seseorang untuk mengontrol dorongan berbuat agresif. Sehingga, orang yang mengalami gangguan tersebut seringkali melampiaskannya dengan perbuatan agresif, seperti merusak barang atau menyerang orang lain.

_____________________
Bersambung...

Lelaki Pilihan (Season 1 & 2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang