TTLS 1

987 134 347
                                    

Surya menampakkan sinarnya seluas mata memandang. Menyergap setiap rumah dan gang-gang. Bahkan mungkin berusaha keras menyergap setiap celah.

Beberapa orang mulai sibuk menyiapkan diri untuk bekerja, sekolah, atau mungkin bersiap untuk janji temu dengan kerabat.

Sementara di sisi lain ...

Seorang pria tiga puluhan dengan kumis dan jenggot lebat masih tertidur pulas di atas sofa. Kaus cokelat yang melekat di tubuh tak menutupi perutnya dengan sempurna. Perut buncit itu terlihat kembang kempis. Sementara itu, bau alkohol menyeruak ke seluruh ruangan.

Ya.

Tak jauh dari tempatnya membaringkan tubuh, terdapat beberapa botol minuman keras yang tergeletak begitu saja. Salah satunya terguling di pinggir meja, hingga mungkin hanya dengan satu sentuhan saja, akan membuat botol itu jatuh menggelinding.

Di sekitarnya, tak kalah berantakan. Selimut tipis dan jaket hitam tergeletak di lantai, beberapa sampah plastik bekas makanan ringan terlihat berserakan, juga posisi meja yang tampak miring dari seharusnya.

Seorang wanita yang lebih muda tampak tengah menyiapkan sarapan. Sesekali ia menyeka anak rambut yang mengganggu aktivitasnya.

Telur dadar sepertinya akan menjadi santapan pertama di pagi hari.

Kreekk..

Suara pintu terbuka. Seorang gadis kecil dengan pelan keluar dari kamar. Mengenakan seragam TK dengan jepit kuning menghias rambut hitamnya yang pendek. Rambut pendek yang terbilang sangat pendek untuk anak-anak seusianya. Jika saja seragam yang ia kenakan bukan rok, orang mungkin akan menganggap gadis itu anak laki-laki.

Nara, gadis itu mengendap-endap mendekati ayahnya yang masih tertidur pulas. Berdiri di antara meja dan sofa. Dengan hati-hati, ia memungut selimut yang tergeletak di lantai. Memakaikan selimut cokelat itu pada sang ayah hingga perut buncit itu tak lagi terlihat. Sesaat kemudian, ia letakkan dengan benar botol-botol minuman keras di tengah meja, agar tak jatuh dan menimbulkan suara.

Anggi, sang Ibu hanya mengawasi putrinya dari jauh. Sarapan itu sudah siap, dan kini menunggu penyantap melahap habis tanpa sisa.

"Apa yang Nara lakuin?" Setengah berbisik, Anggi menggendong Nara yang beberapa saat lalu berjalan dengan pelan menghampiri dirinya. Ia lantas mencuci tangan Nara di pancuran air. Memberi dua tangan mungil itu cukup sabun lalu membilasnya kembali.

"Nara cuma bantuin ayah pake selimut." Bisikan Nara terdengar jelas di telinga Anggi yang masih sibuk mengelap tangannya dengan lap bersih.

"Lain kali jangan sentuh lagi botol itu."

"Kenapa?"

Anggi menatap anaknya sesaat. Sepertinya cukup bingung untuk merancang kalimat yang pas agar dimengerti sang anak yang baru berusai lima tahun.

"Kalau Nara pegang lagi, jangan lupa cuci tangan seperti ini," menyerah berpikir, Anggi mengucapkan kalimat seadanya.

Nara hanya mengangguk pelan.

Tentu saja itu demi kebaikan Nara. Jika teman atau bahkan guru-guru tau, gadis itu memiliki bau alkohol di tubuhnya, kemungkinan besar akan berimbas buruk.

Anggi mendudukkan Nara di kursi. Di depannya, setengah porsi nasi dengan telur mata sapi menghias indah di atas piring, membuat wajah Nara seketika kecewa.

"Telur lagi?" bisik Nara.

"Udah, makan aja."

Anggi tak punya pilihan lain. Sejak bisnis suaminya bangkrut, ia menjadi tulang punggung keluarga.

Twinkle-Twinkle Little Star [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang