TTLS 20

315 57 166
                                    

Sabila duduk sendiri di bangku taman, di samping gedung rumah sakit. Matanya melihat ke arah beberapa orang yang berlalu lalang. Dari sekian orang, satu yang menjadi pusat perhatian saat ini. Seorang gadis muda dengan wajah pucat, duduk di atas kursi roda. Di belakang gadis itu, seorang pria mungkin seusia, mendorong kursi roda pelan-pelan. Di antara sela-sela perbincangan, tampak senyuman lebar menghiasi wajah mereka.

"Dia pasien leukimia," ucap seorang pria yang datang tiba-tiba.

Sabila menoleh, tampak Hendra tengah mengambil duduk di sampingnya. Menyodorkan ice coffee yang langsung ia terima.

"Dia pasienmu?" Sepasang mata Sabila masih saja memperhatikan dua sosok itu.

"Hmm." Hendra mengangguk.

"Kenapa?" tanya Hendra kemudian.

Sabila menoleh sekilas, "Nggak papa sih. Keliatannya mereka orang yang paling bahagia di antara semua 'pasangan' -pasien dan pendampingnya."

"Kenapa kamu nglakuin itu?" ulang Hendra memperjelas pertanyaannya.

Wanita itu akhirnya mengerti apa yang dimaksud Hendra. Kejadian tadi.

"Yah, aku cuma nggak mau aja, kamu digituin." Sabila menyeruput minumannya.

"Apa harus kayak gitu?"

"Tindakanku udah bener. Justru aku yang harusnya tanya sama kamu," Sabila meletakkan ice coffee itu di bangku, di antara mereka, lalu memfokuskan pandangan ke arah Hendra, "kenapa kamu diem aja? Bahkan anjing pun pasti menggonggong kalau difitnah makan ayam tetangga."

"Apa karena dia itu pasienmu? Dia aja nggak tau terimakasih, malah fitnah kamu kayak gitu," lanjutnya sebal.

Tak ada jawaban. Hendra hanya terdiam sambil mendengar setiap ucapan Sabila.

"Kok diem? Jawab dong!" seru Sabila.

"Udahlah, nggak usah dibahas lagi," ucap Hendra menyerah.

"Tuh, kan. Kamu nggak bisa ja-"

"Permisi ...." Seorang pria tiba-tiba muncul menginterupsi pembicaraan keduanya.

Sabila dan Hendra langsung menoleh. Tampak seorang pria berseragam biru, seragam yang mirip dikenakan sopir taksi langganan Sabila.

"Maaf ganggu. Apa yang tadi itu teman kalian?"

Hendra dan Sabila saling berpandangan, tak mengerti.

"Itu ... yang tadi ...." Pria itu berkata sambil menarik kerah bajunya sendiri dengan kedua tangan. Memperagakan adegan dimana Irwan menarik kerah Hendra. "Dia pasti teman kalian, kan?"

"Bukan," jawab Sabila cuek, bersamaan dengan Hendra yang malah menjawab, "iya."

Ah, memang faktanya Sabila tak berteman dengan Irwan. Kenal saja tidak. Hanya sekadar tahu, karena pria itu sahabat dari tunangannya, juga suami dari orang yang disayangi Hendra.

"Ada apa?" tanya Hendra lalu bangkit berdiri.

"Tadi dia naik taksi, tapi belum bayar. Saya tadi menemuinya, tapi dia bilang nggak punya uang. Dan saya disuruh mencari salah satu di antara kalian," jelas sopir taksi itu. Dalam hatinya ia sudah sangat kesal. Nggak punya duit, kok laga-nya naik taksi. Jalan kaki kan juga sehat.

"Huh!" Sabila mendengkus kesal. Membuang pandangan ke arah lain. Menegak ice coffe-nya.

"Berapa?" tanya Hendra.

"Lima puluh tujuh ribu," sahut si Sopir Taksi.

Hendra merogoh saku baju, lalu dengan telat ia menyadari bahwa dompetnya ada di dalam ruang kerja. Pria itu menoleh pada Sabila yang sedari tadi hanya memerhatikan, enggan berdiri dari bangku cokelat itu.

Twinkle-Twinkle Little Star [✔️]Where stories live. Discover now