TTLS 4

424 96 153
                                    

"Kamu beneran nggak mau cerita apa-apa?" tanya pria itu meyakinkan, tangannya masih sibuk mengobati luka di wajah Anggi. Sesekali wanita itu mendesis karena perih yang ia rasakan.

"Tanpa aku jelasin, kamu pasti udah tau apa yang terjadi. Semua luka-luka ini ... " ucapan Anggi menggantung. Manik hitamnya menatap datar ke arah botol-botol minuman keras tak jauh di depannya. Mengingatkan pada Irwan yang kini entah ada dimana. Mungkin sibuk menikmati waktu dengan minuman atau wanita. Sibuk menambahkan daftar hutang untuk Anggi lunasi.

"Membicarakan masalah pada seseorang yang bisa dipercaya bisa meringankan beban dalam hati kita."

Anggi mengalihkan pandangan pada suara berat itu. Sejenak ia menatap penuh wajah Hendra yang kini tengah menempelkan plaster luka di dahinya. Beberapa saat kemudian dua pasang mata itu saling bertemu.

"Kata psikiater," lanjut Hendra setelah beberapa saat terdiam. Ia dengan segera membuang pandangannya. Begitu pula dengan Anggi yang segera sadar sepersekian detik kemudian.

"Psikiater? Aku pikir kamu benci mereka. Baru kali ini kamu sebut-sebut psikiater segala. Berapa persen tingkat stresmu sampe harus konsultasi ke sana?" Anggi sedikit terkekeh.

Hendra memandang Anggi dengan tatapan serius, "Kamu ngapain ketawa? Emang ada yang lucu? Suruh cerita malah ketawa."

Seketika Anggi menghentikan tawa kecilnya. Tatapan itu ... sungguh tatapan yang hangat. "Aku pengen cerita Hen, tapi entah kenapa aku nggak bisa."

"Yaudah, kalo nggak mau. Aku nggak maksa. Tapi, kalo butuh apa-apa, telepon aja aku. Kayak tadi."

Anggi hanya mengangguk pelan, "Makasih udah dateng." Ia sodorkan lembaran uang di genggamannya pada Hendra.

"Kamu bener-bener ngira aku ke sini karena uang?" ada seberkas kekecewaan yang bercampur dengan rasa kesal di wajah Hendra.

Anggi menyerah. Ia masuk kembali ke dalam kamar dan menyimpan uang itu baik-baik. Tentu saja ia merasa tidak enak karena Hendra menolak menerimanya. Tapi setidaknya ia bersyukur, karena uang itu kini akan aman sampai dua tahun ke depan. Sampai Nara masuk Sekolah Dasar.

Sementara Anggi masih ada di dalam kamarnya, Hendra segera membereskan peralatan dan bersiap pergi.

Anggi mengantar pria itu hingga ke depan rumah. Melihatnya menjauh, berjalan menuju mobil SUV yang terparkir di halaman. Beberapa saat kemudian mobil itu sudah menghilang.

Anggi berdiri cukup lama di depan rumah. Mendongakkan kepalanya, menatap langit malam yang mulai menyingkap kerlipan bintang. Perlahan memutar kenangan yang tersimpan rapi dalam memori.

"Aku pengen kamu dan Irwan bersatu lagi," suara lirih Hana hampir tak terdengar jelas. Tubuhnya terbaring di ranjang pasien. Sementara Anggi dan Hendra berdiri di samping kanannya, dan Irwan berdiri di samping kiri.

Hana meraih tangan Irwan dan Anggi lantas menyatukannya.

Setitik air mata jatuh mengalir dari sudut mata Hana. Kali ini ia tak ingin melakukan kesalahan lagi. Cukup sudah membuat Anggi dan Irwan menderita atas sikapnya.

Irwan menatap Anggi yang kini hanya memandang datar ke arah Hana. Dan Hendra hanya terdiam menyaksikan semua itu di depan matanya. Ada semburat 'ketidaksukaan' yang terpancar di wajah pria itu. Seharusnya tidak begini jalan ceritanya.

Ada sebuah kesalahpahaman di sini, yang tak satu pun dari mereka mampu menjelaskan.

Ya. Terkadang, hati manusia jauh lebih rumit dari sekedar kata-kata.

🌟🌟🌟

Ferdi duduk diam di balik meja. Matanya fokus memperhatikan sebuah lembaran yang kini ada di genggaman.

Twinkle-Twinkle Little Star [✔️]Where stories live. Discover now