TTLS 17

235 51 148
                                    

Ray membuka dua map yang diberikan Desta. Lantas menaruhnya di meja, mendorong ke hadapan Anggi. Ia lalu memberi isyarat dengan dagu agar Anggi membaca dua berkas itu.

Anggi mengambil salah satu map, berwarna merah. Matanya seketika terbelalak. "Ini ... ini apa?"

Ray tersenyum lebar. "Apa lagi? Kamu harus bayar bantuan yang udah aku kasih."

Anggi meletakkan map merah itu kembali, lalu mengambil map biru. Matanya lagi-lagi terbelalak.

"Kamu harus pilih salah satu." Ray memandangi setiap senti tubuh Anggi dengan tatapan seolah tengah menelanjanginya. "Tubuhmu masih bagus buat pilihan map merah."

Anggi meletakkan map biru itu sekenanya. "Kalau aku nggak pilih dua-duanya?"

Senyuman lebar Ray lenyap. Meninggalkan wajah dengan tatapan serius. Baru kali ini Anggi melihat Ray dengan tatapan itu, sebuah tatapan yang menguasai lawan bicara. "Seperti yang kamu bilang, aku bisa jual Nara. Satu fakta menarik, organ tubuhnya jauh lebih mahal dari punyamu."

Mendengar itu, Anggi sontak melangkah mundur. Berbalik dan hendak kabur. Tapi tentu saja, Desta yang berdiri di belakang sejak tadi, berhasil menahan langkahnya.

"Sial!" batin Anggi kesal. Ia seharusnya sadar sedari awal. Bukan malah mengekori Ray dengan kepala manggut-manggut mirip ayam mematuk sisa makanan.

Ray masih tetap diam di tempat duduknya. Melihat Anggi yang lengannya dicengkeram kuat oleh Desta.

"Kamu nggak bener-bener berpikir kalau aku ini malaikat, kan?"

Sejenak, pikiran Anggi berteleportasi ke beberapa hari lalu, kala ia pertama kali bertemu Ray.

"... Anggap aja aku ini malaikat yang dikirim Tuhan."

Memikirkannya kembali, seketika membuat Anggi merutuki dirinya sendiri yang dengan bodohnya mengikuti pria tak dikenal. Omong kosong soal malaikat. Yang ada sekarang, ia berhadapan dengan iblis. Keluar kandang singa, masuk mulut buaya. Begitulah kini nasibnya.

"Kamu harus bayar pertolongan yang udah aku kasih ke kalian. Pilih salah satu!" tegas Ray.

Anggi tiba-tiba berlutut. Desta dengan sigap beralih mencengkeram pundaknya. "Aku mohon, lepasin aku dan Nara."

Ray bangkit dari tempat duduk. Mengambil map merah lalu beranjak mendekati Anggi, berjongkok menjajari tatapannya. Lalu meletakkan map merah itu di hadapan Anggi.

"Kalian nggak akan pernah bisa lari. Kalian udah masuk ke dalam akuariumku. Melompat keluar berarti mati," ucap Ray.

Anggi memandangi map di hadapannya.

"Jangan pernah coba kabur," Ray mengunci tatapan Anggi. "Nara terlalu manis untuk dijadikan tumbal," lanjutnya dengan tersenyum.

Senyuman yang sama, tapi tentu saja punya makna berbeda. Atau mungkin, sejak kemarin, inilah makna sebenarnya dari senyuman itu. Anggi saja yang tak bisa menangkap jelas artinya. Antara polos atau kurang cerdas. Dibutakan oleh sisi malaikat Ray. Malaikat? Memikirkan kata itu, membuat Anggi berkali-kali merasa bodoh.

Ray lalu berdiri. "Buat dia mengerti apa yang harus dilakukannya," ucap Ray pada Desta. Pria di hadapannya itu mengangguk sekali.

Ray kembali duduk di balik meja kerja. Menyibukkan diri dengan ipad yang sedari tadi ada di sana.

Desta lalu mengambil map merah di lantai dan map biru yang masih terbuka di atas meja. Kemudian menarik lengan Anggi, memaksanya berdiri. Keduanya lantas melangkah pergi meninggalkan ruangan.

Twinkle-Twinkle Little Star [✔️]Where stories live. Discover now