TTLS 16

248 60 116
                                    

Jam di ponsel Anggi menunjukkan angka lima lebih tiga belas menit. Senja sudah sejak tadi menyapanya melalui jendela mobil. Nara di kursi belakang tampak tertidur pulas. Ray sempat menyetel sandaran kursi Nara agar gadis itu lebih nyaman.

Sehari yang lalu Anggi ditawari Ray untuk bekerja. Jadi sejak pagi ia sudah sibuk bersih-bersih rumah, bahkan sempat mengajak pria itu berbelanja bahan makanan. Tapi Ray menolak, dan lebih memilih makan di luar.

Lalu berlanjut menunggu Ray menyelesaikan urusan di sebuah hotel. Makan siang, berhenti di taman sebentar, dan kemudian pulang.

Tapi Ray bilang, ada satu hal lagi yang lebih penting. Maka siang yang menjelang sore itu, Anggi mengekori perginya Ray.

Entah kini mereka ada dalam fase perjalanan yang mana. Awal, tengah, atau akhir. Karena sejak dua jam yang lalu, Ray hanya menampilkan senyum di wajah, sambil berkata 'sebentar lagi' -lebih dari lima kali. Membuat Anggi menyerah bertanya dan lebih memilih tertidur pulas. Hingga kemudian ia terbangun ketika mobil Ray melaju di atas jalan makadam.

"Sebentar lagi." Ray tetap fokus menyetir. Ia mengatakan itu karena merasa diintimidasi oleh tatapan Anggi. Mata wanita itu terbuka lebar sejak semenit yang lalu.

Anggi memperhatikan lebih saksama. Ini jalur pegunungan. Beberapa kilometer di depan, terlihat sebuah gunung kecil. Awan di atasnya membuat pemandangan tampak lebih indah. Belum lagi warna jingga dari senja.

Baiklah, lupakan semua keindahan itu. Yang terpenting sekarang, ke mana Ray akan mengajaknya pergi? Ada apa dengan gunung?

Ray memutar setir mobil ke arah kanan. Kini tak lagi mendapati rumah-rumah berjajar. Hanya beberapa pohon dengan jarak sekian meter. Lalu, di ujung jalan itu, Ray belok ke kiri.

Suasana di sini tampak sepi. Tiba-tiba pikiran Anggi melayang ke hal-hal negatif. Ray tak mengatakan apa pun tentang tujuan mereka, juga lokasinya kini yang entah kenapa membuat perasaan Anggi was-was.

Beberapa meter di depan, sebuah gerbang bercat putih menyambut kedatangan mereka.

Anggi mengira Ray akan turun untuk membuka gerbang. Karena yang ia tau, saat di hutan, Ray tinggal sendiri. Jadi, ia pikir sama halnya dengan di sini. Tapi ternyata dugaan itu salah.

Seorang pria dengan setelan hitam membuka gerbang itu untuk Ray, tanpa diminta. Seolah Ray sudah sering datang kemari.

"Nah, kita udah sampe." Ray melepas sabuk pengaman. Senyuman terukir lebar di wajahnya.

Alih-alih melepas sabuk pengaman, Anggi masih menekuri sekeliling. Sebuah rumah cukup besar dengan halaman cantik di depannya. Ini apa lagi? Rumah Ray yang lain atau rumah temannya?

"Kamu nggak turun?" Ray mengetuk kaca mobil, menyadarkan Anggi dari lamunan. Pria itu bahkan sudah menggendong Nara di punggungnya.

Anggi mengikuti langkah Ray, masuk ke dalam rumah besar bercat biru muda. Tak ada yang menyambut kedatangan mereka, hingga ...

"Oh, jadi karena ini kamu nggak bisa ketemu sama client besar kita. Ikan baru ya, Ray?" Suara seorang wanita dari arah belakang, membuat Anggi dan Ray membalik badan.

Terlihat seorang wanita masih muda, mungkin berusia dua puluh tahunan. Rambutnya lebih panjang sedikit daripada rambut Anggi yang hanya sebahu. Tubuhnya langsing berbalutkan sweater ungu muda dan celana jeans hitam.

Twinkle-Twinkle Little Star [✔️]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang