TTLS 23

138 31 43
                                    

Sebuah pesan masuk ke ponsel Hendra. Laki-laki itu hanya melirik sekilas sambil sibuk mengenakan kemeja bermotif garis terang.

'Jadi jam berapa? Aku denger kamu tadi tuker sif dan buru-buru pulang...'

"Astaga...." Hendra menepuk dahinya dengan telapak tangan. Ia lupa kalau sedang ada janji dengan Sabila untuk makan malam di rumahnya.

'Maaf, hari ini ditunda dulu. Aku ada janji sama temen.'

Tak ada balasan hingga semenit berlalu. Lalu bunyi notifikasi pesan muncul saat Hendra meraih knop pintu kamarnya.

'Aku tunggu.'

Hendra tak langsung membalas pesan Sabila. Ia tahu, kalau sudah begini, maka tak ada kompromi. Apalagi selama ini Sabila adalah orang yang selalu menepati janji, juga yang paling keras kepala untuk menagih janji dari seseorang.

Hendra hanya perlu melajukan mobilnya lebih cepat dan coba menghindari lalu lintas yang padat. Sebelum itu, ia mengetikkan pesan balasan pada Sabila.

'Aku mungkin telat 30 menit.'

Menjelang pukul tujuh malam, seseorang yang ditunggu Hendra belum muncul juga. Ia sudah beberapa kali melihat ke arah angka digital dari jam yang melingkar di tangan kirinya. Bahkan hampir setiap menit ia mengecek pesan yang terkirim pada Sabila. Memberitahu wanita itu kalau dirinya akan telat lebih lama.

Detik terus berlalu, dan Hendra baru saja akan memutuskan untuk pergi ketika sosok yang ia tunggu-tunggu akhirnya muncul. Mengenakan jaket hitam untuk menutupi kaus putihnya.

"Sorry, Bro." Bagas langsung duduk sambil memamerkan deretan giginya. Pria itu tahu kalau Hendra sudah akan pergi. Jadi dengan seukir senyum, ia mengulurkan tangan mirip seorang pelayan, yang mempersilahkan pelanggan agar duduk.

"Ck. Aku juga lagi ada janji," gerutu Hendra seraya kembali duduk dengan terpaksa.

"Siapa? Tunanganmu?" Bagas menutupi mulutnya dengan telapak tangan yang mengepal, demi menyembunyikan tawanya yang tampak mengejek.

"Oke, oke. Jadi apa yang mau kamu bicarain?" lanjut Bagas sambil mengangkat salah satu tangan, menolak untuk memesan saat seorang pelayan restoran datang.

Ah, Hendra hampir saja lupa tentang itu. Pikirannya terlalu disibukkan dengan janjinya pada Sabila.

"Aku mau tahu, ini nomor siapa dan di mana terakhir kali aktif," ujar Hendra seraya menyodorkan secarik kertas.

Bagas meliriknya sebentar, sebelum akhirnya ia meraih kertas itu.

"Hmm...." Bagas menghela napas. "Bakal sulit kalau nomor ini belum terdaftar. Tapi bakal aku coba dulu."

Hendra mengangguk-angguk. Ada perasaan lega yang tercetak jelas di wajahnya.

"Tapi, ngomong-ngomong ini soal apa? Kalau kamu nggak tahu ini nomor siapa, artinya ini nomor asing, kan? Ada masalah apa?" tanya Bagas bertubi-tubi.

Hendra menelan ludah. Haruskah ia mengatakan pada Bagas tentang semuanya? Atau tetap merahasiakannya saja?

"Itu..."

"Itu soal Anggi."

"Ppfft!" Bagas menyemburkan air putih milik Hendra yang tadi sengaja ia ambil tanpa izin. "Anggi? Bukannya kamu udah lama ga komunikasi sama dia? Terus Sabila gimana? Apa buat aku aja?"

Jika saja Hendra tak menahan marah, mungkin kepala Bagas sudah berdarah karena lemparan gelas. Pria itu lebih memilih mengelap wajahnya dengan sapu tangan yang ia bawa.

"Bukan gitu, jangan salah paham dulu bisa, ga?" ujar Hendra kesal.

Pada akhirnya Hendra menceritakan semuanya pada Bagas. Jika dipikir-pikir, karena Bagas seorang polisi, sedikit banyak pasti bisa membantu. Lagipula, belum tentu selesai kalau cuma dirinya sendiri yang sibuk mencari.

Twinkle-Twinkle Little Star [✔️]Where stories live. Discover now