TTLS 21

161 39 59
                                    

Alun-alun kota tak begitu ramai. Maklum, sekarang hari produktif. Orang-orang masih bekerja, sementara sebagian remaja yang sudah pulang sekolah menghabiskan waktu di dalam kafe, mall, atau tempat-tempat ber-AC. Tak mengherankan, sebab matahari terasa tepat di atas ubun-ubun. Teriknya membuat beberapa pejalan kaki berkeringat. Tak terkecuali Anggi yang sejak lima menit lalu keluar dari mobil, tanpa siapa pun di sampingnya.

Anggi berhenti sejenak. Ia sudah cukup jauh dari mobil Tari. Sekarang, yang perlu dilakukannya hanyalah mencari telepon umum. Tapi tunggu. Di era ini? Telepon umum?

Dia merasa tak yakin. Tapi tetap saja pandangannya tertuju pada telepon umum di seberang jalan. Merasa ia memiliki harapan.

Sambil menunggu lampu lalu lintas penyeberangan berubah menjadi hijau, Anggi sempat menoleh ke segala arah. Kalau-kalau Tari muncul entah dari mana. Meski mobilnya sudah tak terlihat sejak ia melarikan diri, tanpa sepengetahuan Tari.

Beberapa orang mulai menyeberang jalan. Menyadarkan Anggi dari lamunannya. Segera ia menapakkan kaki di zebra cross. Pandangannya masih saja tertuju pada telepon umum itu.

Koin? Koin?

Anggi tak sebodoh itu untuk pergi tanpa rencana. Saat dalam pelatihan bersama Tari, Anggi tak sengaja menemukan koin di pinggir jalan, tentu tanpa sepengetahuan Tari. Jadi kalau boleh dibilang, bukan rencananya yang membuat koin itu ada, tapi koin itu yang membuat rencananya ada.

Anggi mengangkat gagang telepon. Dan, ya. Seperti yang sudah ia kira. Tak bisa digunakan, sangat tidak membantu. Telepon umum itu seharusnya sudah dimasukkan ke museum. Lagipula siapa yang pakai telepon umum di zaman seperti ini?

Anggi dengan kecewa meletakkan kembali gagang telepon. Lalu mengedarkan pandangan ke beberapa penjuru. Maksudnya, ingin meminjam siapa pun yang memiliki ponsel. Sayang, sebelum ia menemukan target, terlihat jelas penampakan Tari di seberang jalan. Mengantongi kedua ibu jari di dalam saku celana jeans. Sementara tatapan mata mengarah pada Anggi yang kini diam membeku di samping telepon umum.

🌟🌟🌟

Mobil mini putih terparkir rapi di salah satu sudut parkir alun-alun. Tari duduk di belakang kemudi sambil sibuk melihat layar ponsel. Menonton film horror yang tiga hari lalu ia download, tapi belum sempat ditonton.

Mem-pause film sejenak, ia mengedarkan pandangan. Lalu melirik kembali ke layar ponsel. Sudah enam menit sejak filmnya diputar, Anggi belum juga kembali. Tadi, wanita itu bilang ingin ke kamar mandi. Hanya berjalan satu menit dari mobil diparkir, ada sebuah restaurant. Di sana pasti ada kamar mandi. Tari menyuruh Anggi pergi ke sana saja, agar tidak membuang banyak waktu. Dan seharusnya, sekarang wanita itu sudah kembali.

"Apa banyak banget ya, yang pake kamar mandinya?" gumam Tari yang kemudian menutup layar filmnya. Tak ingin mengambil resiko, Tari membuka satu aplikasi ber-icon lensa kamera.

Sejurus kemudian, kedua bola matanya terbelalak, kala mendapati sebuah titik merah yang berkedip di layar ponsel.

Inilah gunanya, Tari memasang alat pelacak di salah satu kancing baju Anggi. Sebelum meninggalkan villa tadi, ia menciptakan adegan 'minuman tumpah di baju orang'. Tari tahu, Anggi tak membawa banyak baju. Terlihat sejak kemarin Anggi tak mengganti pakaian. Sudah pasti semua yang ada dalam kopernya adalah pakaian kotor yang belum sempat dicuci. Lalu Tari semakin yakin ketika Anggi menerima pakaian darinya sambil berkata, "Nanti mampir binatu dulu bisa, kan?" Yang kemudian ditanggapi Tari dengan anggukan kepala disertai seukir senyum.

Twinkle-Twinkle Little Star [✔️]Where stories live. Discover now