Bab 30

18.7K 1.1K 105
                                    


Langkah pria itu terkesan seolah mengaktifkan alarm tanda bahaya dalam dirinya, namun paku tak kasat mata seakan menahan gerakan kaki Velix.

Mata Velix melebar takut, melihat bagaimana wajah tampan di hadapannya berubah mengerikan, ke empat taring yang mencuat keluar membuat tubuhnya bergidik dan belum sempat ia mencerna semua yang terjadi, punggungnya sudah membentur dinding sangat keras dengan tangan pria itu sudah bersarang di lehernya, mencengkramnya kuat hingga membuatnya sulit bernafas.

"Wajah ketakutan mu benar-benar membuatku muak." desisan pelan mengalun dari bibir yang kini membentuk sebuah senyuman yang jauh dari kata bersahabat.

Senyuman yang seolah menyiratkan bahwa pria itu tidak akan segan untuk mengakhirinya sekarang juga. Velix perlahan menggerakkan kaki, menghantamkan kakinya sekuat yang ia bisa pada tubuh pria itu, namun sesuatu terasa begitu menyengat saat keretak tulang terdengar menggema mengisi ruangan bersamaan dengan raungan kesakitan yang keluar dari bibir Velix.

"Aarrgghh.."

Pedang kini menancap di salah satu kakinya, menahan kaki itu agar tetap menempel di dinding kayu, kemudian semua menjadi neraka bagi Velix ketika kakinya yang lain juga mengalami hal yang sama.

"Lepaskan, tolong lepaskan.. aarrgghh"

"Lepaskan? Bahkan disaat aku baru memulai permainan?" Senyuman pria itu semakin mengembang, membentuk seraut wajah mengerikan yang membuat siapa saja yang melihat akan segera berlari menjauh.

Pria bermata merah itu meraih salah satu pedang yang tergantung tepat di atas Velix, membuat Velix menggelengkan kepala sekuat tenaga, memohon dengan kata maupun tatapan matanya. Dan semua seakan sia-sia sekarang, ketika ujung runcing itu tepat mengenai dadanya, pedang itu menembus dirinya dengan satu hentakan yang membuatnya sontak memuntahkan darah segar dengan mata membelalak.

"Kemana perginya mulut besar mu itu heh?" Tawa itu meluncur ketika dengan tatapan kejinya, mata merahnya mengamati setiap raut wajah dan teriakan Velix serta rontaan pria itu, dab bagian menyenangkan dari itu semua adalah dimana Sean dengan mudahnya memutar pedang yang menancap di dada Velix, menekan benda itu semakin kuat hingga menembus dinding kayu di belakangnya.

Darah segar mengalir terus menerus bersamaan dengan salah satu tangan Sean yang sibuk menancapkan satu demi satu pedang di bagian-bagian tubuh Velix lainnya, pria itu bahkan tertawa dengan ekspresi mengerikan saat darah juga terciprat mengenai wajah tampannya.

Tubuh Velix bagai hiasan dinding di mana ke empat pedang masing-masing menancap di kedua tangan serta kaki, menjadi penyangga untuk menahan bobot pria itu agar tetap menempel di dinding kayu, sementara di bagian dada terdapat lubang besar menganga yang terus mengalirkan darah segar.

Ia sengaja tidak mengenai bagian vital pria itu. Sean tidak akan membuat kematian mudah bagi Velix, ia akan bersenang-senang terlebih dahulu, membuat Velix berfikir bahwa kematian adalah jalan yang lebih baik dari pada harus menerima semua 'permainannya' sebelum ia menghadiri pesta besar yang sudah di siapkan pria itu untuknya beberapa menit lagi.

Ia akan mengenalkan pesta yang amat sangat menyenangkan hingga tak ada satupun dari warga desa itu mampu untuk kembali kerumah mereka dengan selamat.

Ya, pesta itu juga yang membuatnya tidak sabar, ia sudah lama terkurung dalam tubuh manusia lemah ini, manusia yang berusaha untuk terus menekan dirinya, manusia yang tidak membiarkan dirinya hanya sekedar merasakan kedua tangannya berlumuran darah.

"Katakan, kau ingin aku memotong telinga kanan, atau kiri terlebih dahulu?" Sean menelengkan kepala, berpura-pura berfikir sementara pria di hadapannya mungkin sudah tidak memiliki tenaga lagi untuk menjawab terbukti dari helaan nafas pelan yang terdengar putus-putus.

Lalu helaan nafas kasar itu terdengar, Velix benar-benar mangsa yang membuat dirinya bosan. Alih-alih ia memotong salah satu dari kedua telinga Velix, otaknya langsung memikirkan sebuah rencana.

Pria itu kemudian berjalan santai menuju pintu keluar ketika mendengar suara riuh yang berada tidak jauh dari tempat mereka, tepatnya didesa yang selama ini menjadi tempat tinggal pria itu dan juga adik tercintanya.

Ah.. mengingat adik pria itu membuat darah dalam tubuhnya berdesir. Ia akan menyingkirkan wanita itu sebelum wanita itu menjadi penghalang terbesar baginya.

"Nyanyian merdu warga desa akan segera menyambutmu Velix".

Sean bersiul sebelum memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.

"Saatnya berpesta"

***

Gaby mengernyit sebelum melangkah turun dari ranjang. langkah kaki berlarian yang terlihat melalui celah pintu kamar serta suara teriakan sayup-sayup itu mengundang perhatiannya.

Ia lalu meraih kenop pintu sebelum membukanya lebar, dan tepat ketika ia berjalan menuju tangga, Jason terlihat melangkah lebar sedikit berlari dengan wajah penuh ke khawatiran.

"Jason"

Panggilan itu sontak menghentikan langkahnya, ia lalu menoleh ke arah datangnya suara, dimana Gaby terlihat menuruni tangga sebelum menghampirinya.

"Apa yang terjadi?"

"Entahlah by, aku sendiri akan memeriksanya sekarang, dan sebaiknya kau kembali ke kamar, aku akan memerintahkan Roger agar menjagamu di luar pintu"

Suara isak tangislah yang kini terdengar membuat keduanya menoleh ke asal suara sebelum kembali berpandangan.

"Aku ikut dengan mu" ucap gadis itu. Gaby hanya ingin memastikan sesuatu, dan semoga apa yang ia takutkan sekarang tidak benar-benar terjadi.

Jason menatapnya cukup lama sebelum mengangguk, melangkah terlebih dahulu menuju ke arah dapur mansion di ikuti Gaby yang mengekor di belakangnya.

Suara tangisan serta teriakan pilu semakin terdengar jelas, dan Gaby merasa jika nafasnya sontak terhenti, sesuatu perlahan mulai mengocok perutnya dan membuatnya merasa ingin memuntahkan sesuatu.

Tiga pelayan yang sempat ia temui saat memasuki mansion Jason telah terbujur kaku di lantai marmer dengan tubuh sepucat kapas, mata terbelalak serta darah mengalir dari leher mereka membanjiri hampir seluruh ruangan.

Gaby tidak bisa, pemandangan yang saat ini dilihatnya benar-benar sangat mengerikan, tubuhnya bergetar hebat sementara ia berusaha menekan perut serta menutup mulutnya, dan hanya butuh tarikan kecil hingga akhirnya ia menyembunyikan diri di dada Jason dengan menahan seluruh rasa mual yang kini bergolak dalam dirinya.

"Bawa Ms. Hill ke ruangannya Roger" kata-kata itu yang terdengar sebelum usapan hangat menyentuh punggungnya di ikuti suara roger yang memberinya intrupsi agar segera keluar dari kekacauan yang saat ini terjadi.

Sepanjang langkah menuju ruangan yang tadi ia tempati, pikiran mengerikan itu terus menghantuinya, ia tahu siapa yang melakukan hal mengerikan itu hanya dengan melihat bekas luka yang ada di setiap leher para pelayan yang telah mati.

Dan setelah pintu kamar itu tertutup sempurna, Gaby menyandarkan punggungnya di daun pintu kemudian meringkuk sembari menenggelamkan wajahnya di lipatan kaki. Ia tidak tahan untuk tidak menumpahkan air matanya ketika rasa bersalah semakin besar ia rasakan. Semua ini salahnya, jika saja ia tidak mengabaikan ancaman Sean, jika saja ia tidak pergi bersama Jason. Semua ini pasti tidak akan terjadi.

Suara tangis itu pecah, ia tidak pernah menyangka jika Sean adalah pria yang dengan mudahnya membunuh seseorang hanya karena rasa cemburunya pada Jason.

Dan seharusnya kau sudah tahu, kau tahu jika pria itu berbahaya, namun kau di butakan dengan rasa nyaman serta perlakuan hangat pria itu padamu. Kau egois Gabriela. Suara itu memenuhi pikirannya.

Benar, ia egois dan hanya satu cara untuk menghentikan kegilaan pria itu sebelum Jason, atau keluarganya lah yang menjadi korban berikutnya.

*****

My Vampire Secret [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang