Bab 15 - Delapan Huruf

8.2K 1.4K 466
                                    

Bener kata Covey, masalah terbesar dalam komunikasi itu we don't listen to understand. We listen to reply.

=======

Wonwoo's Pov

Gue bukan pengecut.

Gue bisa aja masuk ke ruang rawat Mingyu saat itu juga dengan memasang tampang sedatar hari-hari biasa untuk menyapa keduanya. Atau kasarnya, mengganggu kebahagiaan yang cuma ada dalam dunia milik mereka.

Tapi, nyatanya?

Hati gue yang gak bisa. Hati gue gak sekuat baja. Gue mendadak menjadi pengecut setelah mengenal Ananda Mingyu. Hidup gue menjadi kacau setelah cowok turunan Tegal nyebelin itu hilir mudik di pikiran gue.

Gue coba berdamai dengan cara berpikir, merenung, dan intropeksi diri. Apakah dari kontemplasi itu gue dapat jawabannya? Tentu aja. Ternyata semua dikarenakan satu kata yang baru aja gue notis bahwa sebelumnya perasaan itu udah 'ada'.

Cinta?

Kejauhan.

Sayang?

Katakanlah demikian.

Gue menyadari rasa sayang udah bersarang sejak lama. Bahkan rasa nyaman pun ikut bersembuyi yang nahasnya harus tergerus oleh ketololan gue untuk mengenal sosok Uji.

Maka, gue coba mencari solusi atas kegamangan ini dengan menyelami perasaan lebih dalam lagi, tapi ternyata lama kelamaan gue temukan satu fakta yang cukup bikin gue tau posisi. Bahwa rasa sayang gue untuk Mingyu masih belum sepadan dengan perasaan Uji.

Gak usah jauh-jauh deh, saat tau kalau Mingyu kecelakaan sepekan yang lalu, Uji berada di garda terdepan. Dialah orang paling terluka saat melihat Mingyu terkapar pingsan. Wajahnya gak bohong sama sekali, cowok itu sungguhan tulus dalam mencintai.

Sementara gue?

Rasa takut dan ragu sukses menelan gue untuk diam di tempat. Menampar gue bahwa ada perbedaan signifikan di antara kami yang serupa langit dan bumi. Ditambah lagi penyebab mengapa Mingyu terluka adalah gue sendiri.

Ya Tuhan, gue mana punya keberanian sebanyak Uji untuk berkorban, jangankan berkorban—untuk mengakui perasaan yang sebenarnya pun gue gak handal. Gue juga gak bisa sekuat Uji untuk tetap menampakkan wajah di depan orang yang disuka.

Gue ini bukan apa-apa.

I don't deserve Ananda Mingyu.

Silakan caci maki gue yang pengecut ini, tapi gue percaya dalam menjalin suatu hubungan gak ada namanya berat sebelah. Kedua belah pihak harus punya angka 50:50 untuk bahagia pun sebaliknya.

Dan kini ..., gue coba membayangkan masa depan bersama Mingyu. Entah mengapa gue takut menjadi pihak yang selalu menyakiti dia. Bagaimanapun juga cowok sebaik Mingyu layak untuk dicintai dan mendapat kasih sayang lebih. Lantas gue bertanya pada diri sendiri apakah bisa membahagiakan dan memberikan kasih sayang pada Mingyu?

Dan jawabannya; gue gak tau.

Bukankah baiknya gue menyerah aja? Mungkin semua akan kembali seperti sedia kala.  Seperti ketika gue baru pindah ke Griya GSM. Oh, bukan. Seperti sebelum gue ketemu dengan dia, di mana dada gue gak berdetak seheboh sekarang, atau mungkin sebelum gue ketagihan tidur di pelukan Mingyu setiap malamnya.

Jatuh cinta ternyata sesakit ini ya? Udah pasti cinta-cintaan bukan ditujukan buat orang pengecut kayak gue. Kenapa begitu mudah bagi orang-orang untuk melaluinya, tapi begitu sulit untuk gue?

Sial, gara-gara kelamaan melamun di halte busway gue sampe lupa udah menghabiskan waktu lama di sini. Pada akhirnya, bingkisan yang gue siapkan ini sia-sia. Mau dibuang tapi sayang, kayaknya mulai besok rumah sakit ini bakalan mengingatkan gue pada kenangan pahit semata.

[✔] Semester 8Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang