#24

471 22 0
                                    

Semoga masih berkenan membaca cerita ngawur bin abal-abal ku ini..

Langsung aja ya..

Happy reading...

Angin yang bertiup menggugurkan dedaunan kering dari rantingnya.
Aku hanya bisa menikmati pemandangan jatuhnya daun keatas tanah dari kursi taman yang ku duduki. Menikmati juga hembusan angin yang menerpa wajahku.

Menghela nafas pelan, aku masih menatap daun yang jatuh itu, mengapa angin dengan mudah menggugurkan daun kering dari tangkainya? Namun mengapa aku sulit sekali menggugurkan cinta dari hatiku? Padahal rasa itu sudah menjadi hal yang menyakitkan untuk ku. Rasanya aku ingin sekali berteriak sekencang mungkin untuk meluapkan semua isi hatiku.

Sampai kapan aku terus begini? Ini sangat menyesakkan andai Fajar tahu itu. Andai dia tahu betapa kecewanya aku, betapa marahnya aku atas apa yang dia lakukan. Namun semua itu hanya andai. Dia tidak pernah tahu tentang ku. Dia hanya tahu tentang Sinta dan tentang perasaan Sinta. Tak ada tentang ku dalam hidupnya.

"Sampai kapan mau seperti ini?" suara lembut seseorang membuatku mendongak. Ternyata ada pria berbadan tegap berdiri didepan ku sambil menatapku dengan senyum hangatnya. Kemudian memposisikan dirinya duduk di sampingku.

"Jika sudah tidak sanggup berlari beristirahatlah, mungkin itu bisa membuatmu berpikir lebih tenang. Tidak baik juga terus berlari, jika semakin berlari justru membuat dia juga semakin mendekat."

Aku melirik pria itu yang santai duduk di sampingku. Pandangannya menatap lurus kedepan. Aku pun kemudian kembali fokus kearah depan. Benar juga yang dikatakan mas RDH. Semakin aku berlari, dia juga semakin cepat berlari mengejarku dan akhirnya jarak bukan semakin jauh justru semakin dekat.

Beberapa hari ini, dia memang sedang gencarnya kembali mendekat ke arahku. Entah kenapa juga dia selalu menemukan ku ditempat yang ku yakini tak ada dia. Membuatku harus sekuat tenaga menjauhinya itu.

Aku menghela nafas kasar. "Lalu aku harus bagaimana?" tanya ku pada mas Restu.

"Berhentilah berlari."

Aku menghela nafas kasar. Ku pilin tali gamisku hingga tali itu berubah kusut.

"Itu sulit untukku, mas."

Mas Restu melirikku sekilas. Ada pancaran cahaya teduh dari matanya. Membuatku sedikit tenang.

"Bukan sulit. Hanya saja adek tidak mau berhenti berlari. Sembuhkan dulu luka hatimu dek, lalu adek akan bisa berhenti dengan sendirinya." ujarnya.

"Luka itu sudah sembuh." tukas ku. Mas Restu alias mas RDH mengacak rambutku yang tertutup jilbab biru dongker ku, tidak lupa dengan kekehannya.

"Kalau sudah sembuh kamu ngga akan lari terus-terusan kaya gini dek. Mas tahu adek sering menghindar dari atlit bulutangkis itu kan?" ujar mas Restu sambil mengedipkan sebelah matanya jail. Nyebelin. Aku pun mengalihkan pandangan ku kearah lain.

"Cobalah sesekali kamu mau di ajak ketemu dia! Kamu kan udah lama juga menghindari dia." lanjut mas Restu.

"Baiklah. Kalau nanti  aku ketemu lagi sama dia atau dia mau ngajak aku ketemu aku mau nemuin dia dan nggak akan ngehindar lagi. Tapi, kalau dia ngga, aku juga ngga mau nemuin dia." tegasku.

Baiklah, mungkin juga sudah waktunya aku berdamai dengan masa lalu ku itu. Masa lalu yang sungguh menyakitkan dan masih berbekas sampai sekarang.

"Itu baru bagus." balas mas Restu.

"Menerimanya kembali bukan sesuatu yang salah dek."

Aku mengernyit heran mendengar pernyataan mas Restu. Sedangkan pria itu hanya tersenyum. Dia pun bangkit dari duduknya.

Mr. Badminton ( COMPLETE √ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang