🌷 [17] Let's Start This Game

3.9K 171 59
                                    

VOTE DAN KOMEN....

tunjuk dari teka-teki di part-part sebelumnya. Jadi, wajib baca dong yaa... ;)


Chapter 17: Let's Start This Game (Permainan Dimulai)

Keyakinan adalah modal terpenting ketika kamu menghadapi sebuah tantangan.

Keyakinan adalah modal terpenting ketika kamu menghadapi sebuah tantangan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

-Raquilla-
•••

"Apa ini?" Arga—Papanya Raqa melempar sebuah dokumen berisikan laporan acara MOS dua hari yang lalu. Dengan jari bertaut, alis menukik tajam, beliau menatap Raqa. "Berapa kali Papa sudah katakan Raqa, kamu harus jadi ketua OSIS yang benar, baik, dan teladan untuk adik-adik yang kamu didik. Lalu, apa yang tertulis di laporan ini, Papa kecewa Raqa. Apa belum cukup janji yang Papa berikan soal Mama?"

"Pa," Raqa menyela, sudah cukup dia menuruti permintaan Arga. Raqa bosan melakukan semua hal yang tidak dia inginkan. Jangankan mengatur acara MOS, melihat banyak peserta berisik saja dia pusing. "Besok terakhir acara MOS, hari berikutnya, Raqa bukan siapa-siapa lagi di sana. Raqa berhak melakukan apa saja, Papa nggak ada hak ngelarang Raqa."

"Lalu, soal Kalina? Kamu tidak mau tau dimana wanita tua itu berada?" tanya Arga tersenyum mengejek.

Raqa mengernyit tidak suka, satu tangannya mengepal, dadanya naik turun, kesal. "Jangan sebut dia wanita tua, brengsek! Mama saya menderita karena Anda! Saya akan cari tahu sendiri dimana Mama berada," tukas Raqa.

Bukannya marah, reaksi Arga justru tertawa meremehkan. Seolah pria berumur 17 tahun di depannya ini hanyalah bocah kecil ingusan.

"Kamu punya apa sampai berani bertaruh akan menemukan Kalina? Uang? Kekuasaan?"

"Pa," Raqa menahan amarah amarahnya memuncak. Suasana semakin memanas, bahkan keheningan telah tenggelam oleh meja yang Raqa gebrak. "Ikatan antara anak dan ibu bahkan lebih besar dari segudang uang yang Papa miliki hasil korupsi."

"RAQA!" Urat-urat di pelipis Arga mulai menonjol.

Raqa tersenyum kecut, keinginan mencari keberadaan mamanya sudah bulat. "Saya tidak peduli, silahkan anda bermimpi untuk mempermainkan saya lagi."

Dengan cepat, Raqa berdiri lalu meninggalkan ruangan itu. Belum sempat berkata-kata, Arga harus menelan kembali kalimatnya.

Ini masalah, Arga harus menahan Raqa bagaimanapun caranya. Mengusap wajah frustasi, tatapan Arga justru terfokus kembali pada foto dimana Raqa sedang menghukum seorang siswi.

RaquillaWhere stories live. Discover now