MOH- Empatbelas

29.3K 1.5K 73
                                    

Seorang lelaki berdiri dengan tatapan matanya yang kosong di salah satu kamarnya dengan menatap ke arah luar jendela. Suasana kamarnya yang temaram menambah kesan kesepian yang begitu terasa.

Dipikirannya memikirkan dua orang yang kini tak lagi bersamanya. Dua orang yang mulai di anggapnya penting itu hilang tak berjejak. Sudah hampir satu bulan dia mencari, tetapi masih tak bisa dia temui, membuatnya putus asa.

"Lo masih aja mikirin perempuan dan anak haramnya, nggak guna!" suara dari orang dibelakangnya membuatnya menoleh.

Lelaki berumur 25 tahunan itu menatap tajam lawan bicaranya yang berani masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk pintu.

"Lo tau aturan masuk kamar orang kan? Oh gue lupa, lo kan taunya aturan ngerebut harta orang." sindir lelaki itu.

Lelaki berjas hitam yang mendapat sindiran itu hanya tersenyum miring, "Tuh lo tau, lagian perusahaan nggak cocok dipimpin sama lo yang nggak cekatan dan kurang kompeten. Yang ada perusahaan nanti bangkrut karena lo Alfan."

Lelaki yang di panggil Alfan tertawa, "Tau apa lo tentang gue? Kalau gue boleh bilang, nyesel banget punya sodara kandung kayak lo Arlos!"

"Gue nggak peduli lo nyesel atau nggak, lebih baik lo serahin perusahaan itu atas nama gue kalau lo pengen tau dimana anak dan istri lo yang dulu lo sia-sia." Arlos berbalik badan berniat meninggalkan kamar.

"BRENGSEK!"

BUGH

Arlos tersungkur di lantai akibat pukulan tiba-tiba dari Alfan.

"DIMANA NANDA? LO SEMBUNYIIN DIMANA DIA HAH?" Alfan mencengkram kuat kerah Arlos.

Berbeda dengan Alfan yang masih dalam kemarahannya, Arlos justru tersenyum miring meskipun disertai ringisan akibat sudut bibirnya yang robek.

"Serahin DyaksaCorp dulu, baru gue kasih tau dimana anak dan istri lo." Arlos mendorong Alfan, dia berdiri lalu merapikan kerahnya dan berlalu meninggalkan Alfan yang diam merenung.

"SIALAN" Alfan memekik sembari mengusap wajahnya, dia tertunduk dengan semua beban yang memberatkannya di punggung serta pundaknya. Terasa berat. Dia tidak sanggup bila menghadapinya sendiri, dia ingin bertemu istri dan anaknya. Hanya itu.

- oOo -

Harusnya hari Minggu menjadi hari untuk bersantai bagi Sanaya, tapi karena kewajibannya dia harus pergi ke sekolah untuk melihat perkembangan latihan teater sekolahnya.

"SERIUS! KALIAN BAKAL MAIN LIMA HARI LAGI. BUKAN SAATNYA UNTUK MAIN-MAIN." Sanaya menutup telinganya kala Sarayu berteriak marah kepada para pemain dan kru yang tidak serius berlatih.

"Tau nggak kalau kalian gagal, gue yang bakal dapat cibiran karena dianggap nggak mampu jadi ketua teater. Harusnya kalian sadar! Teater kita ini dipandang remeh dan kalian kudu buktiin kalau teater kita juga bisa unggul diantara ekstra lain." Tukas Sarayu lalu duduk dengan muka tertekuk, menghiraukan tatapan anak teater yang merasa bersalah.

Sanaya menepuk bahu Sarayu pelan, "Lo udah jadi ketua yang baik kok. Jangan nyerah dong. Bangun! Ayo kita bimbing mereka, kita buat pak Trisno bangga bahkan satu sekolah. Yakin kalo teater kali ini bakal berhasil ikut bersaing di festival teater pelajar." ucap Sanaya kepada Sarayu yang masih duduk.

Dua tahun lalu ketika Sanaya dan Sarayu ikut teater, lalu teater Morabest alias nama teater sekolahnya itu ikut FTP, tetapi gagal sebelum masuk babak penyisihan akibat ada masalah dana. Pak Trisno selaku pembina teater merasa kecewa akibat sekolah yang tidak mendukung teater dengan mendanai keperluan itu. Dan pada kali ini ketika Sarayu yang menjadi ketua, kepala sekolah memberi tantangan agar kali ini teater bisa masuk babak penyisihan teater. Maka dari itu Sarayu bertekad begitu pula dengan Sanaya yang semangat membimbing adik-adik kelasnya dibantu Pak Juju yang merupakan guru pembina kedua dari luar sekolah.

My Other HappinessWhere stories live. Discover now