The Greatest Scene

2.5K 281 43
                                    

Ada yang bilang momen terbaik dalam hidup ini adalah saat mendapat penghargaan berkelas dunia, ada juga yang mengatakan berhasil mendapatkan cetakan pertama buku Brief History of Time adalah momen terbaik dalam hidup. Lalu, ada juga yang mengatakan bisa tersenyum ringan tanpa merasakan beban yang terpikul adalah momen terbaik dalam hidup.

Namun bagiku, reka adegan momen terbaik dalam hidupku adalah dia.

Dia yang berdiri manis dengan sepasang sepatu tinggi menghiasi kakinya. Dia yang dengan eloknya berlenggok meninggalkan karpet merah dengan surai coklat yang melambai manis padaku-seakan menggodaku untuk meraih dan mengelusnya lembut.

Ditengah pekikan para penggemar yang meneriakan nama kami, aku menatap samudraku yang tersenyum tipis.

Maafkan aku semuanya, kalian memang pengisi hatiku.

Tapi dia, adalah pemilik hatiku.

Dulu aku pernah mengatakan pada orang tuaku, aku ingin menjadi seorang idol. Menjadi seseorang yang dielu-elukan banyak orang, seseorang yang dicintai oleh segenap rasa, seseorang yang dipuja layaknya lukisan mahakarya The Starry Night tahun 1889 karya Vincent Van Gogh.

Aku selalu ingin menjadi orang itu.

Namun kehadirannya, mengubah semua mimpiku. Menghilangkan semua keinginan terpendamku untuk dipuja dan menanggalkan segala keinginanku untuk terus dicintai banyak orang. Kehadirannya dalam hidupku, membuat seluruh duniaku terbalik. Aku tidak ingin dipuja. Aku tidak ingin dicintai oleh banyak orang.

Aku ingin menjadi orang biasa yang bebas mencintainya tanpa takut tersakiti.

Tidak pernah aku perlihatkan pada air wajahku, bahwa aku membenci penyelenggara acara ini. Aku mengutuk dalam bisu betapa aku benci harus duduk jauh di depan wanita yang aku puja.

Aku ingin melihatnya. Aku ingin melihat semua pergerakan manis yang tergerak di tubuhnya, menatap kembali punggung rapuh itu dengan cinta meski dari kejauhan.

Hahaha, lucu. Aku bersajak seakan aku hanya mencintainya dalam diam, namun sebenarnya tidak. Aku mencintainya dengan segenap jiwaku, menginginkannya dengan segenap hartaku, dan menyayanginya dengan seluruh nafasku.

Dia tahu. Dia tahu aku mencintainya. Dia tahu aku memujanya, menyayanginya, dan menginginkannya dengan seluruh eksistensiku. Lucu, dia menginginkan hal yang sama. Wanitaku menginginkan hal yang serupa denganku.

Kita saling mencinta, tidak ada kata mencintai dalam diam dalam kamus hidup kami. Tapi kami mencintai dalam sembunyi. Berusaha dengan sepenuh tenaga menyembunyikan kilatan kasih di antara kita di tengah hamburan bintang seakan rasa yang kita rasakan adalah fana.

Tidak dapat terbendung dalam hatiku betapa bangganya diriku melihat dirinya melangkah naik keatas panggung. Berdiri anggun layaknya pion yang siap menunggu gilirannya mengeluarkan sepatah dua patah kata pidato terima kasih dengan suara selembut mentega namun semanis tebu.

Oh, tidak ada yang tahu betapa gilanya diriku tiap kali telingaku mendengar alunan suaranya.

Hingga tibalah giliranku menaiki panggung. Menerima pion penghargaanku sendiri dan mengumandangkan pidato hasil tulisku sendiri kepada dunia-dan didengar langsung olehnya. Hah, dia pasti bangga padaku.

Dia pasti ingin mengumbarkan senyum indahnya kepadaku, menepuk bahuku sembari mengatakan betapa bangganya ia kepadaku, dan membubuhiku sebuah dekapan hangat seturunnya aku dari atas panggung.

Tapi ia tidak bisa, aku tidak bisa. Kita hidup di kirtya yang mempunyai peraturan tidak tertulis yang mengatakan tidak boleh ada kata cinta diantara para mereka yang dipuja. Kita, idol, hanyalah idola prostitut yang hanya boleh dicintai dan mencintai tanpa boleh merasakan kehadiran cinta itu sendiri.

VIEWOnde histórias criam vida. Descubra agora