CANVAS

1.1K 185 69
                                    

Vincent melihatnya lagi. Melihat sesosok malaikat yang terduduk di pinggir kolam air mancur pribadi milik sang Ratu yang terkenal dengan keindahannya dan dengan untaian gaun berwarna putih yang dirancang langsung oleh Jean Pierre, seorang perancang pribadi kerajaan yang terkenal dengan hasil tangannya yang luar biasa indah.

Cantik, pikirnya. Tapi masih ada satu hal yang kurang, yaitu senyum milik sang malaikat.

"Sudah kuduga anda akan berada di sini, Yang Mulia." sapa Vincent dengan senyum lembut terpoles, menarik perhatian Irene untuk segera menoleh kearahnya dengan mata merah yang sembab.

Bibir wanita itu masih bergetar, namun kehadiran Vincent di taman pribadinya memaksa Irene untuk menarik senyum setinggi mungkin dan segera mempersilahkan lelaki itu untuk duduk di sampingnya. "Sudah aku katakan berkali-kali untuk tidak memanggilku dengan ucapan formal seperti itu, Kim Vincent."

"Maafkan aku, meski aku adalah temanmu, bukan berarti kita berada di kasta yang sama, Yang Mulia. Aku hanya seorang pelukis kerajaan sedangkan engkau adalah Ratu negeri ini." ucap Vincent seraya mengambil duduk tepat disisi sang Ratu. "Lagipula, bukankah tidak etis seorang rakyat biasa sepertiku memanggil Ratu hanya dengan namanya saja? Bahkan Yang Mulia Raja memanggilmu Ratu."

Irene melepas napasnya halus lalu kembali memang wajahnya di atas lutut. Manik matanya redup, rona wajah yang bersemu di wajahnya hilang, dan bibir raum itu-ah, menunjukan kurva ke bawah yang sangat Vincent benci. Dan tanpa harus menelusuri lebih dalam pun, Vincent sudah tahu penyebab dari kerisauan hati sang Ratu dari negerinya. Atau mungkin juga, Ratu dari hatinya.

"Apa Yang Mulia Raja kembali ketempat pelacur tersebut?"

"Kita menyebutnya selir, Vincent. Atau lebih baik lagi simpanan. Kau mengerti?" sahut Irene dengan nada kesal. Ia melirik wajah Vincent sekilas sebelum berkata, "Bagaimana bisa kau berbicara sefrontal itu di depan Ratu, huh?"

"Bukankah selir dan simpanan Raja sama saja dengan pelacur? Toh, dia menggoda suamimu dan sekarang mungkin tengah menikmati pergulatan panas mereka di villa kerajaan yang terletak di kaki gunung. Benar begitu, Yang Mulia?"

Sang Ratu mendesis, "Aku sangat benci mengatakan ini namun ucapanmu benar adanya." mata wanita itu mengerjap sesaat sebelum kembali melanjutkan perkataannya, "Mereka mungkin sedang melakukan itu di villa kaki gunung. Kuharap tiba-tiba saja ada badai hujan lalu terjadi longsor besar sehingga mereka mati terlelap lumpur."

"Anda tahu? Ucapanmu cukup seram untuk seorang Ratu, Yang Mulia. Aku tidak bisa percaya kau mengutuk suamimu sendiri seperti itu." ucap Vincent seraya terkekeh ringan.

"Kita hanya menikah secara politik. Tidak ada cinta di antara kita. Dan kita..." Irene meneguk liurnya kasar sebelum kembali menundukan kepalanya dalam-dalam. "...Kita bahkan belum pernah melakukan hubungan suami-istri sebagaimana yang ia lakukan dengan selir itu."

Satu alis Vincent terangkat tinggi, "Sekarang Anda lebih mirip seperti perawan tua yang haus belaian suami di tinggal mati suami karena perang abad pertengahan ketimbang seorang ratu bijaksana yang dicintai segenap rakyatnya, Yang Mulia."

Lelaki yang berprofesi sebagai pelukis kerajaan itu terkekeh manis seraya mengangkat dagu sang Ratu dengan satu tangannya. Ia menempatkan pusaran kelam miliknya pada manik berkilauan Irene seraya tersenyum, "Angkat kepalamu, Yang Mulia. Tiaramu nanti terjatuh."

"Aku sedang tidak memakai tiara hari ini."

"Anda selalu terlihat memakai tiara di mataku, Yang Mulia."

"Apa itu artinya kau selalu melihatku sebagai seorang ratu?"

Vincent menggeleng, "Tidak juga. Tadi itu pujian. Pujian bahwa Anda selalu terlihat cantik di mataku, Yang Mulia."

VIEWWhere stories live. Discover now