28

4K 362 39
                                    

Putri POV

Aku memandang lama pohon-pohon rimbun yang tertiup angin malam di depan rumah berlantai 2. Rumah ibu angkat Jimin yang biasanya kami panggil Umi. Aku pernah di sini saat magang kuliah. Tapi rasanya tidak ada banyak perubahan dari rumah Umi. Beda halnya dengan homestay Umi yang terletak di sebelahnya nampak lebih baru dan cantik.

"Putri, apa kau yakin dengan pilihanmu ini?" tanya Jimin di sebelahku. Bahkan dalam perjalanan kami dari Jakarta ke Bogor, entah sudah berapa kali Jimin menanyakan hal yang sama padaku.

"Ya, aku sangat yakin. Dan aku takkan menyesal," kataku penuh penegasan karena teramat kesal saat mengingat Jungkook lagi.

"Putri, sampai kapan kau mau lari seperti ini?"

"Sampai kapan-kapan. Aku tidak akan kembali lagi ke sana."

"Tapi, bagaimana pun juga kalian masih mempunyai ikatan."

Aku menggeleng. Hatiku sudah teramat sakit. Jungkook mengahancurkan hatiku benar-benar parah.

"Putri, kau terlalu mengikutkan perasaan. Kau tidak boleh seperti ini."

"Lantas, aku harus seperti apa? Berpura-pura melupakan kejadian ini? Berpura-pura kalau aku tak pernah melihat foto-foto itu? Apa kau ingin aku jadi gila, hah?" Suaraku meninggi. Geram dengan Jimin yang tak membelaku.

"Putri," Jimin memejamkan mata sesaat. "Aku sayang padamu. Aku ini temanmu. Pasti aku tak ingin kau gila," ucap Jimin lebih lembut lagi. "Tapi aku tak ingin kau bersembunyi seperti ini. Kau denganya masih ada ikatan. Kau masih sah menjadi istrinya. Kalau kau rasa memang tidak bisa memaafkannya, lebih baik kau minta cerai. Jangan siksa dirimu yang menggantungkan status seperti ini," nasehat Jimin.

Lidahku tiba-tiba kelu. Cerai? Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Sanggupkah aku bercerai dengannya? Lidahku bisa berkata aku membencinya, tapi hatiku...

Aku memandang Jimin lagi. Aku masih belum bisa berpikir jernih untuk membahas ini. "Jimin, kau harus janji padaku kalau kau tidak akan memberitahukan keberadaanku pada siapapun."

Jimin memandangku lama. Ia masih merasa berat dengan semua ini. "Ya, kau juga janji kalau hatimu sudah lebih tenang kau kembali lagi ke jakarta."

Aku mengangguk. Lalu mengikuti arah pandangan Jimin yang melihat ke luar jendela. Umi Ulfa sudah keluar, jadi aku juga keluar dari dalam mobil.

"Umi." Aku langsung memeluk umi dengan penuh kerinduan.

"Putri, Umi sangat rindu pada Putri," kata Umi saat kami berpelukan.

"Iya, Umi. Putri juga sangat rindu Umi."

Saat kami melepaskan pelukan, umi memandang ke perutku yang besar. "Putri, kamu sedang mengandung?" tanya umi dengan sorot mata iba.

Aku mengangguk tanpa bisa melawan air mataku sendiri yang sudah menetes. Umi memelukku lagi, mengelus punggungku penuh kelembutan. "Di mana anak kamu satu lagi?" tanya umi yang tahu aku memiliki putra sebab Jimin juga memberitahu umi lewat telepon.

Aku hendak membuka pintu untuk membangunkan Jisen di dalam mobil, tapi Jimin sudah menggendongnya keluar.

Meskipun Umi tahu keadaanku sedang tidak baik-baik saja karena Jimin meneleponnya tadi, tapi Umi masih memperlihatkan senyumnya saat memandang Jisen yang tertidur di gendongan Jimin. "Wah, anak kamu sudah besar ya," ucap Umi.

"Iya, Umi," jawabku mengangguk.

"Oh, kalau begitu ayo kita masuk ke dalam, sebaiknya anak kamu baringkan di tempat tidur saja," ajak Umi membawa kami masuk ke dalam rumahnya.

Sesampainya di dalam, Umi rupanya telah menyiapkan sebuah kamar untuk kami. Jimin membaringkan Jisen di tempat tidur lalu keluar lagi untuk berbincang-bincang.

"Yasudah, Umi, Putri. Kalau begitu aku harus pergi dulu," ucap Jimin.

"Jimin, cepat sekali kamu pulang. Apa kamu tidak menginap di sini?" tanya
Umi yang masih merindukan anak angkatnya.

Jimin menggeleng. "Lain kali saja, Umi. Jimin harus mengajar besok," jelas Jimin. Kemudian meraih tangan Umi dan menciumnya.

"Oh, baiklah kalau seperti itu. Kamu hati-hati di jalan ya," Umi berpesan.

Jimin mengangguk mengiakan lalu menoleh padaku.

"Putri, jaga kesehatanmu ya," ucap Jimin penuh perhatian.

Aku mengangguk. "Ya, terima kasih karena sudah menolong kami. Hati-hati di jalan."

Jimin mengangguk. "Ya, aku pulang dulu. Jangan sungkan-sungkan meneleponku jika kau membutuhkan sesuatu."

Aku mengangguk lagi sambil tersenyum pahit. Berat mata memandang, tapi lebih berat lagi bahuku yang memikul beban perasaan.

TBC

Hanya Dirimu ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang