Pematah Mimpi

6K 1.5K 91
                                    

Immanuel dengan senyumnya yang mengembang berjalan menuju kelas sembari mengingat percakapan ringannya dengan Jami' beberapa waktu lalu soal nama.

Mereka banyak menghabiskan waktu bercakap di telepon, kadang disertai visual lewat video call, tapi Jami' paling anti melakukannya jika baru bangun tidur, wajahnya bengkaklah, rambutnya kayak singalah, padahal di mata El sama saja...

Nurul Jami' tetap indah.

"Eh, btw Arti nama Nurul Jami' apa Mi'?"

"Cahaya yang menyatukan, sebenarnya mau ditamabahin Al Islam di belakang. Biar artinya jadi Cahaya yang menyatukan seluruh ummat islam. Tapi kepanjangan, ga jadi deh. Terus misi namanya berat. Emang gue nabi bisa menyatukan seluruh umat?"

Jami' tertawa membayangkan namanya benar-benar jadi Nurul Jami' Al Islam.

Wah, setiap orang yang mendengarnya pasti ber-Subhanallah saking bagusnya nama itu.

"kalau Immanuel Winaga apa?" Jami' ikut penasaran dengan arti nama Immanuel.

"Immanuel sih artinya Tuhan Jesus bersama kita, bokap ngasih nama Immanuel agar anaknya selalu membawa Tuhan Jesus di kehidupan dan setiap langkahnya. Kalau Winaga, gak tahu deh, karena nama toko emas keluarga gue Winaga Jaya kali ya?"

Immanuel tertawa, tapi anehnya keluarganya memang selalu memberi anak mereka nama seperti nama tokonya.

Winaga Jaya untuk toko emas, Kuncoro Textil untuk toko kain, Leon cell untuk toko handphone.

"Mi'? Masih di sana?" Tanya El karena Jami' tidak bersuara sejak tadi.

"Hem? Masih El, lagi mikir aja."

"Mikir apa?"

"Nama elo sama Nama gue bagus, isinya doa yang baik dan harapan orang tua masing-masing,"

Immanuel mengangguk walau tidak dapat dilihat Jami' di seberang sana.

"But some how, kedengarannya jaraknya jauh banget. Nurul Jami'... Immanuel Winaga."

"Apalah arti sebuah nama Mi'? Muhammad Hanif tuh contohnya, dia pernah bilang Hanif artinya Muslim yang teguh. Cih, hoax. Orang tadi siang pada solat jum'at dia di kamar gue main PS sama Moses."

Aib Hanif menutup percakapan mereka yang penuh tawa.

Baru saja dipikirkan, kini Nurul Jami' mewujudkan diri di hadapan Immanuel, pemuda itu sudah memberi senyuman terbaiknya.

"Pagi, Mi'."

Namun bukannya balasan manis yang didapatkan El, Jami' malah menatapnya penuh amarah, mata gadis itu bahkan merah, jelas Jami' menahan tangisnya.

El yang dilanda kebingungan tergagap tidak tahu harus mengucapkan apa, pada akhirnya setelah tatapan tajam Jami' gadis itu berlari meninggalkan Immanuel yang bisa mati karena penasaran.

Sebenarnya Ada apa dengan gadis itu pagi ini?

"Eh Rin," Immanuel menahan Rini, teman sebangku Jami' "Rin, Jami' kenapa? Kok—"

"Aduh, dia tadi ketemu elo?"

El mengangguk, mengiyakan.

"Terus dia ngamuk ga?"

"Enggak tuh, tapi... Jami' kenapa?"

"Gini-gini, elo tahukan sekolah kita swasta dan akreditasinya masih B?" Tanya Rini.

El mengangguk, meski tidak tahu apa titik temu akreditasi sekolahnya dengan Jami'.

"Nah, sekolah dengan akreditas B hanya bisa mendaftarkan 25% siswa kelas 12 untuk jalur SNMPTN."

"Terus? Hubungannya sama Jami'?"

"Sabar, gue belum selesai. Jadi, dari 192 siswa kelas 12 yang bisa daftar cuma 48 orang, 28 IPA, 20 IPS yang nilainya mencukupi persyaratan, elo tahukan Jami' pengen banget bisa lulus jalur ini buat masuk PTN?" Entah sudah berapa kali El mengangguk dibuat Rini.

"Sayangnya nilainya gak memungkinkan Jami' buat daftar, maksud gue peraturan lama tuh cuma minta 4 nilai mata pelajaran, tapi tahun ini mereka minta 6 nilai. Kalau dari perhitungan dari 4 nilai mata pelajaran ya Jami' bisa aja daftar tapi karena peraturan baru itu, nama Jami dihapus dan diganti dengan orang yang nilainya cukup," El mengedip beberapa kali, mencoba untuk mengerti apa yang dari tadi dijelaskan Rini.

"Jadi Jami' gak bisa daftar? Mau ga mau dia harus ikut seleksi SBMPTN? Kayak siswa pada umumnya?" Kini gantian Rini yang mengangguk.

Entahlah El harus ikut sedih atau senang? Bukannya ia berdoa agar Jami' tidak kemana-mana? Jami' artinya akan tetap di Malang kalau begini. Doanya dikabulkan.

"Elo gak nanya siapa yang bakal gantiin Jami'?"

"Siapa?"

"Elo, Immanuel Winaga. Selamat, nilai lo memenuhi kriteria buat daftar jalur SNMPTN. Bye! Gue mau nyusul Jami'." Rini berlalu meninggalkan El yang mamatung, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Jadi alasan mengapa Jami' menatapnya marah, menatapnya tajam, menatapnya kecewa karena ia mengambil kesempatan yang diimpikan gadis itu sejak lama?

Oke, kini Immanuel merasa tak enak hati.

Beberapa kali El mencoba berbicara dengan Jami' tapi diabaikan gadis itu hingga bel masuk, saat istirahatpun El mengusahakan berbicara pada Jami', sungguh El ingin mengatakan kalau ia sama sekali tidak ingin tempat itu.

Jika bisa El berikan saja tempat itu pada Jami', El bahkan berkonsultasi pada guru untuk hal tersebut, sayangnya tidak bisa, nilai Jami' memang tidak memenuhi persyaratan.

"Loh Nif, Jami' mana?" El mengguncangkan bahu Hanif yang asik tertidur di atas meja. "Eh Nif! Jawab!"

"Aaaaa! Berisik lo ah, elo yang bucin gue yang repot heran." Hanif mengangkat kepalanya dan melihat ke arah bangku Jami' yang sudah kosong.

"Tau, ijin pulang deh perasaan tadi pas pelajaran kedua, gak enak badan katanya," Immanuel terdiam lama.

"Matanya juga kayak disengat tawon, bengkak. Elo ya yang bikin nangis? Lo apain anak orang woy?"

Immanuel mengigit bibirnya dan mengangguk.

"Anjir El elo beneran?" Kaget Hanif.

"Hem, gue. Gue yang bikin Jami' nangis." Akunya.

"Lo apain woy?"

"Patahin mimpinya."

-To be continued -

(Don't forget to touch the stars Button if you like the story 😊 👉🌟)

IMMANUEL & JAMITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang