Aku yang salah

5.4K 1.2K 301
                                    

Pagi itu Malang cerah, tiap minggu pagi Ayah Jami' memang sering jogging di alun-alun dan bertemu teman-teman satu komunitas mobil jeepnya, termasuk Ayah Hanif.

Dua bapak-bapak itu sejak tadi berdebat soal anak perempuan mereka masing-masing.

"Ya kalau udah ada yang lamar dan anaknya mau, udah cukup umur ya aku nikahkan, ga apa-apa abangnya dilangkahin. Laki-laki mah gampang, apalagi Hanif nurunin wajah ku, guanteng." Sungguh rasa percaya diri Hanif yang tumpah-tumpah diwariskan sang Ayah.

"Aku enggak loh, belum siap anak ku Jami' jadi istri orang. Lagian dia katanya mau jadi presenter kayak Najwa Shihab, lagi ngurus magang juga di TV Lokal katanya." Kini Ayah Jami' yang memamerkan putrinya.

"Eh tak kau jodohkan pulaklah anak kau itu? Siapa? Si Hanif sama si Jami'? Ku tengok mereka kawan baik." Goda salah seorang rekan mereka degan logat Batak kental, Ayah Jami' dan Hanif kompak tertawa.

"Enggak Togar, Jami'nya terlalu cantik untuk Hanif ku. Lagipula bukannya Jami' sudah ada pacar? Kemana-mana dulu mereka bertiga sampe diledekin anak ku, dipanggil gedung asuransi." Adu pak Shabandi Ayah Hanif, sedangkan pak Ramadhan Ayah Jami' hanya mengernyit bingung.

Jami' punya pacar? Putrinya dulu memang pernah bilang dekat dengan Iman, pemuda itu bahkan sesekali mengantar Jami' pulang atau menjemputnya.

Pak Ramdahan tahu karena pemuda itu amat sopan dan beberapa kali meminta ijinnya.

"Kok gedung asuransi?" Tanya pak Togar.

"Nurul Jami' nama putrinya, pacarnya namanya Immanuel Winaga namanya," Pak Shabandi menunjuk masjid agung Jami' dan gereja Immanuel.

"Anak ku Hanif yang jadi gedung asuransinya."

"Ahahaha kasian kali anak kau Bandi, sudah jadi gedung asuransi, PT Asuransinya udah bangkrut pula."

Pak Togar bertukar tawa dengan pak Syahbandi.

"Hey? Pak Rama jangan-jangan gak tahu Jami' punya pacar?" Tanya ayah Hanif.

"Jangan dimarahin pak Rama, udah umurnya itu mereka punya pacar."

"Haha, enggak. Jami' setahu saya dekatnya sama Iman, Iman ini juga teman Hanif. Dari SMA juga sering bertiga di rumah, Jami' sakitpun mereka berdua jenguk." Pak Ramadhan menjelaskan.

"Mungkin si Iman itu nama panjangnya Immanuel." Sahut pak Togar.

"Kenapa kayak nama Kristen?"

"Immanuel memang Kristen pak Rama," Ayah Hanif merogoh ponselnya, membuka media sosial Hanif dan memperlihatkan foto Immanuel, Jami' dan Hanif saat di stasiun mengantar putranya ke Semarang dulu.

"Pak Rama, inikan diakan?" Ditatapnya lamat layar ponsel pak Shabandi.

Benar, itu Iman, pemuda putih, tinggi dengan senyum yang ramah memamerkan peace sign ke arah kamera, Jami' ditengah tersenyum lebar, dan Hanif memasang wajah konyol di sebelahnya.

Namun, pak Ramadhan sama sekali tidak pernah melihat kalung salib itu melingkar di leher Iman sebelumnya.

"Ini—"

"Immanuel Winaga, baik anak itu. Punya ruko banyak, emas, kain, sampe eletronik ada. Koko-koko kaya itu pak Ramadhan." Ayah Hanif memuji bertubi-tubi.

"Dia, mohon maaf ini... Nasrani?"

"Iya, rajin dia ibadahnya. Hanif sering nganterin."

Rasanya kesakitan masa lalu kembali menghantam pak Ramadhan, kakinya langsung dirasa lemas, matanya bergetar menatap mesjid agung Jami' dan gereja Immanuel.

IMMANUEL & JAMIWhere stories live. Discover now