Jangan Hilang

6.2K 1.5K 152
                                    

Tiga hari, ya selama itu Jami' tidak menjawab telepon, membalas pesan bahkan pergi ke sekolah, baru tadi ia mengirimkan surat keteran sakit ke ketua kelasnya.

Immanuel jelas uring-uringan sendiri, tiga hari pula pemuda itu susah tidur dan rasa bersalah memenuhi hatinya, El menyesali doa agar Jami' tidak kemana-mana, terserah gadis itu mau menuntut ilmu dimana saja asal tidak menghilang seperti ini.

Lain kali El akan berpikir 10 kali terlebih dahulu sebelum berdoa.

"Nif, ayolah temenin gue ke rumah Jami', jengukin dia." Rengek El pada Hanif yang sudah bosan mendengar permintaan itu sejak pagi, bahkan sejak Hanif baru masuk kelas, Immanuel sudah di sana memasang tampang memelas minta ditemani ke rumah Jami'.

"Nif—"

"Sekali lagi ye elo bilang gitu, dapet buku 3 buah, pulpen, sama piring cantik kayak hadiah porak. Mau lo?" Tetap saja Immanuel membuang kepalanya ke atas meja dan mengoceh tidak jelas, intinya ujung-ujungnya El akan minta ditemani ke rumah Jami'.

"Kenapa sih gak elo sendiri aja yang kesana?"

"Bapaknya galak Nif,"

"Itung-itung latihan. Entar elo ngajak nikah anaknya, lebih parah galaknya, bisa dikejar golok lo," Immanuel memutar bola matanya.

Teman sialan memang Muhammad Hanif, bukannya menyemangati malah menakuti. Pake acara simulasi masa depan lagi!

"Lo mau apa enggak?"

"Pulang sekolah, tapi traktir gue bakso oke?"

"Gampang!"

Rumah Jami' tidak terlalu jauh, Immanuel sudah hafal jalanan ke sana meski Hanif beberapa kali menjebaknya untuk belok kiri padahal belok kanan, seolah mengetesnya.

Sorry yah Nif, wajah Jami' bagi El adalah GPS terbaik, El tidak akan nyasar bila memikirkannya.

"Assalamualaikum. Jami'! Jami'!" Panggil Hanif sesekali ia juga mengetuk pintu.

Mendengar ada langkah kaki keluar, El dengan santai memasukkan kalungnya ke dalam seragam sekolah dan brengseknya Hanif malah tertawa melihatnya.

"Pake coba depan bapaknya Jami'."

"Itu sih cari mati." Balas Immanuel.

"Walaikum salam," Ayah Jami' membuka pintu, Hanif dan Immanuel menebar senyum semanis mungkin.

"Misi Om, Nurul Jami'nya ada? Kita temen sekolahnya pengen jenguk. Hehehe," Canggung Hanif.

"Om inget saya gak? Iman yang jemput Jami'."

"Ah, inget,"Ayah Jami' menjentikkan jarinya.

"Nah, ini Hanif Om, yang Om titip salam buat bapaknya."

Ayah Jami' tertawa menepuk-nepuk pundak Hanif lalu bertepuk tangan. Pantas wajah anak itu familiar, ternyata anak teman baiknya toh.

"Walah, anak pak polisi rupanya. Iman, Hanif. Ayo masuk, Jami'nya di kamar. Om panggil dulu, duduk aja." Ayah Jami' mempersilahkan.

Butuh waktu 10 menit bagi Jami' untuk keluar, jujur saja gadis itu cukup kaget saat Ayahnya bilang ada Iman dan Hanif di luar.

"Kok kalian disini?" Suara parau Jami' menyita atensi El dan Hanif.

"Gue malu tau datengin pas sakit gini, gue belum mandi lagi."Keluh Jami' lalu duduk di tengah El dan Hanif yang sudah mencandainya.

"Pantes pas elo keluar ada bau-bau gak enak, belum mandi toh."

Plak! Paha Hanif jadi sasaran tamparan Jami'.

"Sakit Mi'! Lagian elo bilang mili tii," Hanif manyunkan bibirnya meledek Jami' "Tapi duduk di sebelah El juga dasar!"

IMMANUEL & JAMIWhere stories live. Discover now