Kenapa kita beda? (2)

4.7K 1.1K 244
                                    

Jami' menarik nafas panjang, meski tak terlihat oleh El, gadis itu menganggukan kepalanya sebagai tanda ia sudah memaafkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jami' menarik nafas panjang, meski tak terlihat oleh El, gadis itu menganggukan kepalanya sebagai tanda ia sudah memaafkan.

"Kamu diceramahin siapa jadi bijak begitu?" Jami' heran.

"Hanif, lagi pesiar. Tadi nelpon ngucapin selamat tahun baru. Aku sekalian curhat deh," Immanuel mengakuinya.

"Haha Hanif? Apa katanya?"

"Tapi jangan kaget ya Mi'"

"Pasti ngelantur tuh bocah,"

"Tadinya aku pikir gitu tapi enggak loh Mi', Katanya, manusia boleh memperkenalkan budayanya, sukunya, kebiasaanya agamanya tapi ada satu hal yang gak boleh dilakukan apalagi ke pasangannya,"

"Apa?" Jami' penasaran.

"Memaksanya." Tidak hanya Immanuel yang tersentak hatinya saat mengucapkannya, begitupula Jami' yang mendengarkannya.

"Keyakinan, kebudayaan, kebiasaan itu sebuah kebenaran, tapi ingat ketika sudah 'memaksakan' itulah ketidakbenaran."

"Hem, pertanyaan ku, itu hp-nya Hanif ga dibajak?"

Mimpi apa Jami' mendengar jawaban bijak yang konon dari Hanif yang ia prediksi akan jadi polisi India saat lulus akpol nanti?

"Aku malah suruh dia nyebutin nama lengkap, tempat tanggal lahir sama nama bapaknya, kirain beda orang." El juga tak kalah bingung saat mendengar itu pertama kami.

"El, Hanif kita sudah besar. Huee hueee," Jami' mendramatisir seolah sudah membesarkan seorang anak nakal menjadi pria muda yang dewasa pemikirannya.

"Dari dulu udah bongsor kali Mi' si Hanif."

"Apakah dia Hanif yang sama yang minjem kalung salib kamu dan ke warung tenda pas bulan puasa? Karena gak kuat nahan laper sampe magrib?" Jami' masih memastikan ia adalah Hanif sahabat mereka.

"Hahaha inget aja kamu!"

Keduanya tertawa bersama sangat lama, entah menertawai Hanif atau menertawai diri mereka sendiri, baru kemarin perang dingin dan kini sudah bertukar canda hangat.

"Jami'," Panggil Immanuel penuh cinta disetiap huruf gadis yang ia puja itu.

"Nurul Jami'." Panggilnya sekali lagi, lebih lembut, lebih renyah di telinga Jami'.

"Hm? Apa?"

"Sayang kamu, gini terus ya kita Mi'. Gak apa-apa jalan di tempat, asal sama kamu."

Entah Jami' yang mudah luluh atau memang pemilihan kata Immanuel Winaga yang menyentuh, Jami' mulai berkaca membendung air matanya mendengar itu.

"Kamu masih di sana Mi'?"

Jami' susah payah menjawab sambil menyembunyikan fakta ia sedang menangis terharu.

IMMANUEL & JAMIWhere stories live. Discover now