7

5.6K 482 17
                                    

Lagi.
Aira merasakan kehampaan, kekecewaan yang mendalam. Entah, apa yang sebenarnya sedang terjadi di luar sana. Kenapa ia merasa seperti dikhianati?

Harusnya malam ini menjadi malam terindah untuk mereka. Namun, semua gagal. Dada Aira kembali berdesir panas mengingat nama penelpon itu dan juga kata-kata Ari ketika bertelepon.

Dipandangnya kamar mereka dengan tatapan kosong. Ia tersenyum miris. Butiran demi butiran air mata lolos sedari kepergian Ari dengan tampang tidak bersalahnya.

Hatiku sudah pernah sakit sedari aku mulai mengagumimu. Ku jalani perlahan, ku kubur dalam-dalam rasa yang pernah menyesakkan dada, sampai hari dimana kau melafazkan kabul di depan ayahku dan khalayak ramai di mesjid itu.

Ayahku menyerahkanku padamu bukan dengan gampang dan tidak berfikir, ada harapan yang begitu besar supaya kau menjaga dan membimbingku. Tapi sepertinya semuanya hanya omong kosong.

Aira beristighfar mengingat dirinya sudah berfikir macam-macam terhadap suaminya.

"Siapa 'Ummi'? ibunya bang Ari sudah meninggal semenjak ia masih berusia dua tahun. Apa jangan-jangan ummi yang dimaksud istrinya Abi Zikri ya? tapi kok di panggil sayang segala?" gumam Aira dalam kesendiriannya.

Ia memilih keluar dari kamarnya. Dilihatnya jadi dinding menunjukkan jam dua dini hari. Sudah berapa jam ia menangis? diteguknya air mineral dingin yang disimpan dalam kulkasnya.

Ia mengambil wudhu dan menghidupkan qiyamullail sendirian kali ini. Entah kemana perginya suaminya sampai jam segini belum pulang juga.

Dalam shalatnya ia sesenggukan, sudah mencoba untuk tidak menangis namun tetap saja tidak bisa ketika bayangan suaminya menghantuinya.

Setelah shalat diraihnya hp yang sengaja ia bawa masuk ke mushalla pribadi mereka. Ia khawatir jika suaminya meneleponnya. Beberapa pesan melalui WhatsApp sudah dikirimnya kepada Ari, tapi di baca saja belum oleh suaminya.

Aira mencoba menelpon sekali lagi, tapi Ari tidak juga mengangkatnya, bahkan mematikannya.

Air matanya tumpah kembali. Dibantingnya ponselnya dan diraihnya Al-Qur'an untuk menenangkan hatinya.

Lantunan ayat itu terdengar putus-putus karena Aira membacanya sambil terisak.

Adzan subuh membangunkannya kembali. Ternyata ia tertidur di atas sajadah dengan mukena masih melekat di tubuhnya. Ia melirik ponselnya dengan lampu berkedip. Segera dibukanya, ternyata ada balasan chat dari suaminya.

Maaf aku tidak bisa pulang. Aku ada urusan.

Urgent

Hafalan di setor via voice note aja ya, Dek.

Aku tunggu.

Aira menatap ponselnya dengan tatapan kosong. Rahangnya mengeras. Segera ia hapus air mata yang baru saja muncul di sudut matanya. Ia tidak ingin menangis, apalagi menangisi suami brengsek seperti dia.

"Astaghfirullah.." ia sudah mengatai suaminya yang bukan-bukan. Segera ia membuka mukenanya untuk wudhu kembali dan shalat subuh.

Pagi ini Aira harus berangkat ke kampus sendiri. Ia juga sudah meminta izin kepada suaminya lewat pesan meskipun sampai saat ini belum di balasnya.

Manajemen Rumah Tangga ✔On viuen les histories. Descobreix ara