29

4.3K 342 10
                                    

Angin sepoi-sepoi menyapu wajahku yang sedang berdiri di belakang kantor asrama. Aku menyaksikan sekumpulan santri sedang bermain bola kaki di lapangan. Di sebelah kanan kantor juga ada sebuah lapangan dengan beberapa santri yang sedang bermain bola voli.

Aku melirik ke taman, ada banyak sekali santriwati yang sedang memegang kitabnya ummat Islam yang diturunkan kepada nabi Muhammad, yaitu Al-Qur'an. Mereka dengan mulut komat-kamit dan mata terpejam, sesekali mengintip lembaran Al-Qur'an untuk mengingat hafalan.

Kini netra ku tertuju pada sosok seorang wanita anggun dengan hijab kebanggaannya sedang berjalan keluar dari masjid. Aku tersenyum kecil menatapnya.

"Ustadzah Ara.. ta'alli !!" panggilku. Wanita tadi tersenyum ramah lalu berjalan ke arahku.

"Sok-sokan manggil ustadzah," balas wanita tadi yang tak lain adalah istriku, Aira.

"Biar dianggap profesional, Dek,"

Untuk melawan rasa bosan di rumah, aku meminta Aira untuk mengajar sore di pesantren ku. Hitung-hitung sebagai basic training sebelum ia mendidik anak kami nanti. Santri di sana memanggilnya Ustadzah Ara. Alasannya simple, biar samaan dengan namaku, kata mereka. Ada-ada saja santri-santri itu.

Aira mengajar di kelas satu dan dua. Jadwalnya mengajar hanya di hari Rabu dan Kamis, sama seperti jadwalku ketika sore.  Aku sengaja menempatkannya di kelas dasar, selain karena dia belum berpengalaman dan orangnya susah berbaur, itu juga penting untuk dirinya, berasa seperti mendidik anak sendiri, karena mereka masih kecil-kecil.

"Oh ya, Dek, ada laporan katanya kamu galak sama santri. Apa benar?" tanyaku to the point.

"Kayak kamu gak pernah galak aja," ketusnya sambil melipat tangan di dada. Jarak kami berdiri sekitaran  lima puluh sentimeter.

Aku tersenyum lebar mendapati jawabannya yang sama sekali tidak meleset itu. "Beda santri harus beda juga cara menyikapinya, Dek,"

Aira menatapku, meminta alasan dari argumenku. "Sini aku kasih tau, aku itu galak sama santri senior yang bandel. Nah, beda sama kamu, kamu itu ngajarin santri yang masih kecil, masih SD. Mereka bandel karena mereka butuh perhatian, kita sebagai guru harus lebih memperhatikan mereka lagi. Semakin bandel, harus semakin diberikan perhatian khusus. Mereka itu masih kecil, masih sangat membutuhkan pelukan dan kasih sayang dari orang tuanya, dan kita disini sebagai pengganti orang tua mereka.

Kalau sama santri senior, jangan menjadi sahabat atau teman mereka, karena mereka akan mudah ngelunjak, dan kita akan kurang dihargai. Jadi, bersikaplah sesuai kebutuhan dan demi kebaikan bersama,"

Aira diam mendengarkan setiap kalimat yang ku lontarkan. Aku berusaha menyampaikan sehalus mungkin agar Aira tidak marah atau sedih.

"Anggap aja ini lagi kuliah manajemen peserta didik.." ujarku sembari tersenyum lebar.

"Ya Allah, gak ada habisnya bahas manajemen," kesal Aira seraya memutar bola matanya.

"Itu artinya kalau aku kuliahnya serius, gak cuma mempelajari teori tapi aku praktekkan dalam kehidupan sehari-hari,"

_____

Malam yang sama seperti biasanya. Setelah mengikuti kajian dan shalat isya di masjid, kami pulang ke rumah. Aku melanjutkan tadarusan sekitar sepuluh menit, lalu baru bermain ponsel. Itu sudah menjadi rutinitas ku sebelum bermain ponsel biar tidak membuka atau berkomentar hal aneh-aneh ketika berselancar di media sosial. Itu juga salah satu alternatif untuk membuat mata tidak sakit ketika bermain ponsel.

Sementara Aira sedang di ruang tamu, entah apa yang dilakukannya. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar saja.

"Aku udah berfikir, kalau nanti anak pertama kita laki-laki, aku bakal kasih nama bayinya Al Fatih," ujarku begitu bersemangat ketika menemui Aira sedang membaca buku di sofa.

Manajemen Rumah Tangga ✔Where stories live. Discover now