30

4.3K 338 11
                                    

Pukul dua dini hari. Aku terbangun karena mendengar tangisan Aira di sebelahku. Dengan mata yang masih mengantuk, aku bangkit dari peraduan lalu duduk di sebelah Aira.

"Kamu kenapa? aku masih ngantuk banget nih," tanyaku dengan suara berat. Ku kucek mataku pelan agar penglihatan ku semakin jelas.

"Perutku sakit sekali, Bang. Apa udah waktunya ya?" tanya Aira di sela-sela tangisnya.

"Itu mah biasa, Dek lagian kan prediksi dokter sekitar sepuluh hari lagi.."

"Ini beneran sakit banget, aku juga berasa kayak pengen boker gitu,"

Aku menghela nafas kasar sembari menyibak selimut lalu menuju ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Setelah selesai dari kamar mandi aku menghempaskan tubuhku kembali ke ranjang. Kepalaku masih begitu pusing karena aku baru tidur satu jam yang lalu. "Kepalaku pusing banget. Besok aja ya, lagian kamu juga sering mengeluh kesakitan, dokternya bilang gak papa tuh," ucapku dengan suara berat.

"Aku kesakitan hampir mati tapi kamu masih bisa sesantai ini?" tanyanya. "Bang!!" teriaknya memekakkan telinga ku.

Aku mengucap istighfar lalu bersiap-siap menuju rumah sakit.

Peralatan bayi sudah kami persiapkan sejak awal. Aku sudah begitu siap siaga untuk keperluan kami nanti. Semuanya sudah ku masukkan kedalam sebuah tas besar semenjak dua minggu yang lalu.

Aku meraih tas tersebut lalu memasukkan ke mobil. Mobil tersebut adalah pemberian Abati sebulan yang lalu karena kasian dengan Aira yang kesusahan menaiki motorku.

Aku menemui Aira yang sedang bersiap-siap di kamar. "Udah? ada yang ketinggalan lagi gak, Dek?" Aira menggeleng pelan. Raut wajahnya penuh dengan kepanikan.

"Nggak usah panik, Dek. Kamu harus tenang.."

Aku membopongnya memasuki mobil lalu melaju lah mobil tersebut melintasi jalanan yang lengang mengingat ini jam dua pagi.

Selama dalam perjalanan, tak jarang aku mendengar Aira meringis kesakitan sembari memegang perutnya yang membesar itu.

"Perbanyak istighfar aja, Dek. Biar Allah mudahkan," ujarku seraya memegang erat tangan kanannya.

_____

Kini kami berada di ruang persalinan. Aira sudah diperiksa. Kata dokter, kemungkinan ia akan melahirkan sekitar dua atau tiga jam lagi.

Subhanallah, aku tidak menduganya. Padahal kemarin prediksinya sekitar sepuluh hari lagi. Mungkin Allah tidak ingin membuat kami menunggu terlalu lama.

"Kita akan jadi orang tua sebentar lagi, Sayang," aku mencoba menyemangati Aira yang sedang melawan rasa sakitnya.

"Bang, tolong telfon ibu," Aira memohon.

"Nanti aja ya, kalau kamu udah melahirkan. Kasian kalau ibu khawatir malam-malam begini. Lagian gak aman kalau ibu berangkat jam segini,"

"Tapi, Bang.." Aira meneteskan air matanya. Ia terlihat begitu takut.

Aku menggeleng, tetap pada pendirian ku. Aku tidak mau ibu khawatir. Jarak kampung dengan tempat kami berada berkisar antara empat sampai lima jam perjalanan. Ibu dan ayah juga pasti akan khawatir lalu berangkat sekarang juga kalau kami beritahukan.

Banyaknya aksi begal di jalanan, itu yang aku takutkan sehingga aku tidak mengabulkan permintaan Aira.

"Oke, kita telfon ibu buat ngasih kabar aja ya, biar ibu dan ayah bantu doakan," ujarku karena tak tega melihatnya menangis.

Manajemen Rumah Tangga ✔Where stories live. Discover now