27

4.8K 392 10
                                    

Aku sudah memutuskan untuk berhenti dari rutinitas ku selama bertahun-tahun itu. Tahun ini aku tidak akan melanjutkan studi dulu, aku juga meminta kepada Abi Zikri agar aku tidak mengajar penuh siang dan malam seperti biasanya. Lagipula sekarang sudah banyak santri senior yang mulai diangkat menjadi ustadz baru di sana, jadi bisa menggantikan posisiku.

Aku ingin fokus dulu kepada keluarga kecilku. Ingin meluangkan waktu untuk Aira dan calon bayi kami.

Aira juga begitu, ia tidak mau melanjutkan kuliahnya karena sedang hamil. Aku takjub mendengar alasannya yang tidak masalah jika ia tidak berhasil meraih gelar sarjana. Katanya, "Tujuan aku kuliah bukan untuk cari kerja, apalagi hanya sekedar mengejar gelar sarjana. Tapi, aku kuliah dengan niat cari ilmu agar bisa mendidik anak-anakku kelak,"

Jawaban yang cukup simple. Ketika perempuan diluar sana kuliah agar bisa dianggap hebat oleh orang-orang, kuliah agar harga mahar bisa melambung tinggi, Aira malah kuliah berorientasikan ilmu agar dia dapat mendidik anak-anaknya. Aku begitu bersyukur, pernikahan kami sangat dipermudah oleh orang tua kami, tidak ada persyaratan sulit di dalamnya.

Banyak orang di luar sana harus pacaran bertahun-tahun, lalu baru bisa menikah karena maharnya dipersulit oleh si perempuan atau keluarganya. Miris sekali, menurutku ini sama seperti ajang jual-beli. Ketika ada uang, ada perempuan. Kalau tidak ya tidak dapat.

"Kamu nggak daftar wisuda?" tanya Aira padaku. Saat ini kami sedang menikmati semilir angin di pantai sore hari.

Ya, teman-temanku sedang sibuk mempersiapkan wisuda yang akan berlangsung dua minggu lagi.

"Aku nggak mau. Nggak penting juga, yang ada malah menghabiskan uang dan energi cuma buat sehari itu," balasku. "Lagian uangnya bisa digunakan untuk keperluan bayinya,"

"Aku nggak setuju kalau kamu nggak ikut wisuda jika alasan kamu untuk keperluan bayinya. Ini cuma setahun sekali lho,"

"Nggak usah, Dek,"

"Tapi bang.."

"Nanti aja, wisuda ketika dapat gelar Magister, in syaa Allah," tutup ku.

Kami menikmati segerombolan anak kecil sedang bermain bola di bibir pantai. Mereka terlihat begitu riang walau sesekali terkena air laut.

Aku sudah lama menanti masa dimana aku punya anak. Tidak sabaran untuk mengajarkan mereka menghafal Al-Qur'an, seperti santri-santri ku. Akan menjadi seorang ayah, wah sepertinya begitu menyenangkan.

Aku menatap Aira dan menghadiahinya senyuman.

"Kamu kenapa senyum-senyum?" tanya Aira sambil mengerutkan keningnya. Mungkin ia mengira kalau aku sudah gila.

"Baby-nya masih lama ya, lahirnya?" tanyaku.

"Ya iyalah. Kan baru dua bulan,"

Berarti masih ada tujuh bulan lagi. Lumayan lama juga ternyata.

Mesin waktu gak bisa dipercepat ya? aku sudah tidak sabaran..

"Bang?" panggilan Aira membuatku menoleh kembali kepadanya. "Aku bosan kita begini aja,"

Aku dibuat bingung olehnya. "Terus, kamu mau kita ngapain?"

"Ya.. kita harus melakukan sesuatu," balasnya santai.

"Maksudnya gimana sih?" jujur, aku tidak paham.

"Kita kan udah sepakat untuk gak kuliah dulu, dan jadwal mengajar kamu juga nantinya akan dikurangi. Itu artinya, kita cuma menghabiskan waktu di rumah aja dengan kesibukan itu itu saja,"

Manajemen Rumah Tangga ✔Where stories live. Discover now