32

4K 340 32
                                    

Dua tahun berlalu, melawan keterpurukan dan kesedihan yang melanda. Aku melewati masa-masa sulit karena patah hati. Selama dua tahun juga, ku tinggalkan Aira di Indonesia agar ia melanjutkan kuliahnya.

Ini memang sulit, aku begitu berduka karena meninggalnya bayiku yang sudah sangat ku nantikan. Setelah itu aku memutuskan ke Malaysia untuk meninggalkan kenangan indah sekaligus pahit di Indonesia. Jika aku berada di rumah, aku selalu dihantui kegalauan setiap saat.

Al Fatih, sampai kapanpun dia tak akan tergantikan walaupun nantinya aku akan punya anak lagi. Kenangan dengannya begitu mendalam. Darinya aku belajar dan terus belajar menjadi seorang ayah. Setiap malam aku selalu membacakan Al-Qur'an untuknya yang begitu nyaman dalam perut ibunya di kala itu.

Aku melanjutkan program magister di International Islamic University Malaysia (IIUM). Aku memilih di Selangor, Malaysia karena berdekatan dengan nenekku walaupun aku tidak tinggal bersamanya karena aku menetap di asrama.

Selama dua tahun ini aku dan Aira juga tidak saling memberikan kabar, bukannya kami tidak mau dan tidak saling merindu, tapi aku sendiri yang melarangnya. Yah, aku ingin kami sama-sama belajar dulu. Aira ku perbolehkan menghubungiku jika ia sudah menyelesaikan sidangnya.

Rindu, sudah pasti. Bagaimana tidak? Aira selalu memberikan warna baru dalam hidupku. Aku mengalami kepahitan dalam hidupku karena iri pada mereka yang masih memiliki seorang ibu. Setelah menikah, Aira ada untukku untuk menghapus kesedihan itu hingga membuatku lebih semangat.

Tak berhenti di situ, kami dilanda berbagai cobaan yang membuatku semakin tangguh. Berbagai cobaan menghinggapi, aku pernah begitu marah dan kecewa ketika Aira divonis keguguran karena keteledorannya. Lalu Allah kabulkan doaku agar aku bisa merasakan menjadi seorang ayah. Aku begitu ceria di masa-masa kehamilan Aira. Kami sama-sama menanti kelahiran bayi kami dengan tidak sabaran.

Aku baru saja selesai makan siang di rumah makan bersama salah satu temanku asal Pakistan dan kami akan bergegas pulang ke asrama. Tiba-tiba ponselku berdering tanda ada yang menelpon.

"Aira?" aku begitu kaget dengan nama yang tertera di layar ponselku.

Ada dua kemungkinan, kalau bukan karena ada hal mendesak, berarti Aira sudah mengikuti sidang sehingga ia menghubungiku. Tapi sepertinya ia belum sidang karena aku diam-diam selalu mengawasinya melalui dosen pembimbingnya di Indonesia.

Aira ini begitu bandel. Padahal aku selalu memarahinya setiap ia menelpon ku, tetapi ia terus saja menghubungiku dengan alasan tertentu. Ia pura-pura menanyakan buku panduan dan pura-pura lupa menaruh buku dimana. Aku tahu, sebenarnya itu trik karena tidak tahan dengan rasa rindu, sama sepertiku.

Ponselku terus saja berdering, akhirnya aku mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum, ada apa? kamu udah sidang?" tanyaku cuek.

"Wa'alaikumus salam, sayang. Aku sidang minggu depan lho," balasnya antusias.

"Ohh sidangnya minggu depan? terus, kenapa kamu telfon aku? belum tentu sidang kamu akan berhasil. Belajar lagi sana! jangan telfon aku!!"

"Masa sebentar aja gak boleh? aku mau minta doa dari kamu, biar sidang ku berjalan lancar,"

"Tetap enggak!"

"Kamu aneh banget sih? aku curiga, jangan-jangan kamu ada yang lain di sana, kamu selingkuh?" tanyanya dengan nafas memburu.

"Kita udah sering bicarakan soal ini, harusnya kamu nggak menuduh aku yang tidak-tidak. Ingat ya, perkataan itu adalah doa. Kamu mau, aku beneran selingkuh?" tanyaku sinis.

"Kamu nggak ngerti gimana rasanya berada di posisi aku. Aku itu kangen sama kamu, tapi kamu selalu marah setiap kali aku telfon," sembur Aira yang membuatku harus mengelus dada.

Manajemen Rumah Tangga ✔Where stories live. Discover now