31

4.1K 330 3
                                    

Tubuhku lemah, lesu. Sepulang dari pemakaman aku langsung ke rumah sakit untuk menjenguk Aira yang sejak pagi tadi ku tinggalkan.

Matahari hampir terbenam. Aku menatap sendu langit jingga lewat jendela rumah sakit dari lantai dua. Ku tepis dengan kasar air mata yang mengalir dari retina ku.

Sama sekali tidak terduga kejadian bahagia sekaligus mengharukan terjadi dalam hidupku pada hari ini. Kami baru saja diberikan kebahagiaan karena kelahiran al-Fatih, tapi harus kembali bersedih disebabkan duka yang begitu mendalam.

Setelah merasa cukup puas menangis, aku menemui Aira di ruangannya.

"Sayang.."ku cium kening Aira yang sedang terbaring di brankar rumah sakit.

Begitu melihatku senyumnya merekah, membuat dadaku sesak.

Ibu yang saat itu sedang menemani Aira izin ke kantin untuk membeli minuman. Aku yakin, pasti ibu tidak sanggup untuk mendengar sebuah rahasia yang kami simpan.

Aira bangkit dari pembaringannya untuk duduk di sebelahku, yang sudah duduk duluan di atas brankar.

"Kamu dari mana aja seharian ini? sedari tadi aku nungguin kamu," selidik Aira seperti biasanya ketika aku menghilang tanpa kabar. Sementara aku memilih diam.

"Kamu kok lesu banget? ada apa?" tanya Aira seraya memelukku. Aku masih terdiam, tidak sanggup menjelaskan semuanya.

"Aku minta maaf ya, gara-gara aku, istirahat kamu jadi terganggu. Habis Fatih sih, pengen cepat-cepat lahir ke dunia ini. Padahal prediksinya kan sepuluh hari lagi," ujar Aira sembari melemparkan tawa. Aku memalingkan wajah lalu menghapus air mata yang baru saja keluar di sudut mataku.

"Ngomong-ngomong, Fatih mana? kok gak dibawa kesini? aku udah gak sabar pengen nyusuin dia lho," Aira melepaskan pelukannya dan meminta untuk berjumpa dengan Fatih, anak kami yang baru saja dilahirkannya sehabis subuh tadi.

Sayangnya sebuah duka harus terjadi. Aira belum tahu hal ini. Aku sendiri yang meminta dokter dan keluarga untuk merahasiakannya.

"Kamu kok diam aja sih? aku tanya kamu lho.."

Aku tidak sanggup. Aku memeluknya lagi. Kali ini lebih erat.

"Sayang, makasih ya sudah menjadi istri yang baik selama ini. Terimakasih sudah mengandung dan melahirkan anak kita. Kamu ibu yang hebat," ujarku dengan bibir yang bergetar.

"Udah seharusnya, Bang. Kan aku perempuan," balasnya dengan tawa, membuat aura kecantikannya terpancar dengan jelas.

Tawamu menyesakkan dadaku, Dek. Hatiku bagaikan tergores belati. Apakah masih bisa ku lihat tawamu setelah ku ceritakan semuanya?

"Kamu harus tepati janjimu. Mana baby kita?"

Aira sudah tidak sabaran untuk menjumpai anaknya itu. Sayang sekali, takdir seakan sedang bermain-main dengan kami. Bahkan aku sendiri belum bisa untuk belajar ikhlas kali ini.

"Fatih udah aman, tenang, dia udah bahagia," ujar ku seraya menatap lurus ke depan.

Aira melepaskan pelukannya lalu menatapku kesal, "Jangan bertele-tele gini lah, Bang.."

"Fatih udah di surga," balasku dengan lirih.

"Kamu ngomong apaan sih? makin gak jelas aja deh,"

Aku menghela nafas berat. "Fatih udah gak ada, Dek," jawabku dengan menatapnya sendu.

"Kamu nggak usah sok-sok nge-prank, gak lucu," katanya yang bertambah kesal.

"Aku serius. Jantungnya lemah dan dia gak bisa diselamatkan. Aku baru aja pulang dari pemakamannya," ujarku meyakinkan.

Manajemen Rumah Tangga ✔Where stories live. Discover now