File One : Her Past.

435 34 13
                                    

Judul lagu multimedia.

Averua : Dust.
Ost. Secret Forest season 1 part 02.

*******************************
"Kejahatan paling memilukan adalah. Saat kamu hanya bisa berdiri, dan melihat ketidak adilan terjadi di depan matamu. Padahal kamu bisa melakukan sesuatu namun kamu justru memilih DIAM"
~ Beatrice Iskandar~
💗

JAKARTA, MEI 2006.

    Sosok itu melangkah cepat dan lebar-lebar memasuki salah satu area gedung Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum yang terletak di Jakarta Pusat. Rambut lurus sebahunya bergoyang seiring gerakannya, sesekali ia meniup poni panjang diatas dahinya, tubuh rampingnya terbalut kemeja lengan panjang slim fit merah tua yang dimasukkan ke dalam celana kain pas badan hitam. Kartu tanda pengenalnya tergantung pada kerah lehernya.
   
     Seorang Petugas penjaga awalnya berusaha mencegahnya, namun saat membaca nama pada kartu identitasnya, ia segera diizinkan masuk.
   
     Sudah bukan pertama kalinya perempuan itu datang berkunjung ke Gedung ini. Dulu, ia sering sekali dibawa kemari, ketika masih kecil. Biasanya, dirinya bakal menggagumi keindahan langit-langit atap atau lukisan mozaik pada kacanya, serta betapa megahnya pilar-pilar bebatuan pualam putih dalam bangunan tersebut.

    Namun itu dulu. Sekarang tujuannya datang kemari sudah berbeda. Terlebih, dengan profesinya saat ini.

    Lift mengantarkannya mencapai lantai 6. Begitu pintunya membuka, ia langsung dihadapkan pada banyak dua lorong panjang membentang serta banyak ruangan. Kalau orang lain pasti bakal tersesat, tapi dia bukan orang lain. Sejak sudah bisa berjalan sendiri, perempuan muda itu selalu dibawa kemari oleh Ayahnya. Baginya, tempat ini seperti rumah kedua. Meski sang Ayah sempat dipindah tugaskan ke Semarang, namun tak sampai tiga tahun dikembalikan ke posisinya semula disini. Jakarta.

    Gadis itu melangkah cepat. Ruangan yang ia tuju terletak di lorong panjang sebelah kanan, nomor 08. Dan merupakan ruangan kedua terbesar di tempat itu.
  
    Perempuan itu mendongak sekilas, nama Abraham Iskandar tertera besar sekali dibagian atas pintunya. Tangan kurusnya terjulur, lalu tanpa ragu memutar knop pintunya tanpa mengetuk. Seketika, suasana serius dan suara bising yang sempat ia dengar diluar tadi langsung menjadi senyap.

    Ada tujuh pasang netra tertuju padanya. Namun fokus perempuan itu hanya tertuju pada sosok pria berumur 48 tahun, bertubuh tinggi tegap, dan mewarisi darah altaik, tionghoa bercampur Sumatra. Ia tengah duduk di kursi bagian tengah. Dikelilingi para junior atau rekan seangkatan yang jabatannya berada dibawahnya.

   "Ah, anda..." salah seorang junior pria itu menunjuknya.

    "Maaf, mungkin ini terdengar tak sopan. Tapi bisakah saya berbicara dengan Bapak Abraham Iskandar berdua saja?" kata perempuan berbulu mata lentik itu tanpa mengalihkan tatapannya dari sosok Sekretaris Direktorat Jendral Badan Peradilan Umum. Alias, Abraham Iskandar.

    Beberapa Panitera dan Kasubag berdeham. Abraham menatap rekannya sekilas lalu berkata. "Nanti kita lanjutkan".

    Kemudian semua orang berdiri. Berpamitan pada atasannya dengan sopan, sempat mengangguk satu kali pada perempuan muda berambut sebahu itu lalu meninggalkan keduanya di dalam ruangan si Sek.Dirjen.

    Abraham berdiri dari bangkunya seraya berkata. "Kuharap ini penting, sebab kamu baru saja mengiterupsi sebuah rapat penting" memutari sofa, beranjak menuju meja kerjanya.

[COMPLETED STORY] The Truth Desire : #02. BII Series.Where stories live. Discover now