File Thirty Three : The Ambush

134 20 0
                                    

Judul lagu multimedia : Overture Stranger 2 main theme.
.
Dan.....akhirnya kita sampai di 3 bab akhir :.))))
.
Terharu saya. Hanya dalam kurun 3 bulan bisa menyelesaikan dua karya. Itu SESUATUUU ...sesuatu sekali.
.
Cerita ini saya tahu masih banyak kurangnya. Nanti setelah selesai akan saya koreksi lagi kekurangannya mulai dr typo, puebi yang kacau hingga plot hole. Jujur, saya agak nggak pede dengan Truth Desire karena takut plot holenya kacow hahahah. Tapi saya berusaha keras meminimalisir dari segi naskah yang bolong. Kalau teman2 nanti ada masukan, monggo bisa langsung inbox saya ya. Ndak usah sungkan hehehe .
.
Skali lagi. Terima kasih banyak atas support dan dukungan kalian selama ini. Truth Desire memang tidak sepanjang serta sekompleks kisah pertamanya. Ada beberapa hal sengaja saya tahan untuk buku ketiganya. Anggap saja buku kedua ini kita rehat dulu dari yang bikin pening (TAPI ASLINYA SAYA PALING PENING NULIS INI 🤣🤣🤣)
.
Happy Sunday all .I wish you guys have a great and wonderful day.
Warm &Regards ,💖💖 .

*****************************
"Save me. From the bottom of Darkness"
~ Eleven : Stranger Things~

💗💗💗

    Lokasi villa yang dibeli oleh Adeq Tahir terletak tak jauh dari sebuah kawasan perbukitan tempat makan bernama Payung, di Kota Batu. Sedikit di area curam serta dikelilingi oleh hutan. Termasuk area hunian baru dan masih dalam proses pembangunan untuk beberapa wilayah lain.

     Adrian dan kendaraan lain memarkir agak jauh dari titik lokasi villa. Mereka berhenti di jalanan utama, radius dua puluh meter dari rumah peristirahatan Adeq tersebut.

    Ikang telah memastikan jika video penembakan Stefanus Hendrawan dibuat di dalam titik lokasi villa Adeq. Dan unggahan juga dilakukan dari sana.

    Beatrice berkumpul dulu dengan timnya. Memberikan instruksi sekali lagi. Mereka akan dibagi jadi empat arah. Lalu si Kanit juga meminta dua rompi anti peluru lagi untuk dikenakan Adrian dan Argantara. Tak hanya itu, Beatrice juga membekali Adrian secara diam-diam dengan senjatanya, sementara wanita itu meminjam pistol lain kepada salah satu tim lapangan.

    Sementara Polisi dan tim Lapangan mereka akan mengepung dari arah jalur atas juga bawah. Untuk mengatasi kemungkinan kalau-kalau pelaku berusaha kabur.

    Meski entah kenapa, Beatrice merasa yakin 100%, kalau kedua orang itu tidak akan kabur. Namun Beatrice mengurungkan niatnya untuk berkata demikian.

    “Baiklah, terus waspada semuanya. Dan dengarkan instruksi dariku. Oke! Jaga diri kalian baik-baik. Semoga kita semua selamat dan kasus ini berakhir baik” tukas Beatrice. Memimpin doa singkat.

   Kemudian. Mereka berpencar sesuai rencana.

    Beatrice, Adrian, dan dua tim cadangan menuju arah pintu masuk depan villa.

     Mereka bergerak cepat dalam diam.

    Mereka sudah mencapai pintu halaman depan, tatkala mendengar suara letusan pistol lagi dari dalam rumah bertingkat dua itu.

    Terkejut. Beatrice dan Adrian saling berpandangan. Sambungan terbuka.

     “ Kanit anda mendengar itu” itu Guntur.

    “Lekas masuk! Jika pelaku berbuat macam-macam segera tembak kaki atau lengannya!” perintah Beatrice.

    “Siap Komandan!” jawab Guntur dan Agen lainnya.

    Beatrice memutar tubuh. Memberi isyarat pada Adrian dan kedua anak buahnya. Kemudian mereka berempat mulai berlari cepat. Dengan kedua anggota tim lapangan berada di depan lebih dulu. Beatrice mencabut glocknya, mengarahkan tepat ke atas wajahnya dalam posisi bersiaga.

     Tim lapangan berhasil mendobrak pagar besi. Kemudian mereka terus bergerak masuk dalam satu kesatuan berirama. Beatrice juga biaa mendengar suara langkah -langkah belasan sepatu lain lebih mendekat.

    Itu tim pembantu.

    Mereka sudah mencapai teras. Saat Adrian tiba-tiba menarik lengan Beatrice serta memberi isyarat agar wanita itu berada dibelakangnya. Kali ini, wanita itu tidak membantah.

    Pintu depan didobrak. Kondisi di dalam rumah itu begitu temaram. Mereka terus bergerak maju.

    Langkah mereka terhenti. Mendapat kejutan di ruang keluarga.

    Pemandangan tak mengenakkan itu berasal dari jasad Stefanus Harijaya yang sudah terbujur kaku, dalam posisi serta kondisi sangat tidak layak disebutkan.

    Beatrice bahkan sampai memandang ke arah lain. Sementara Adrian dengan cekatan mengambil sebuah taplak putih yang tidak terlalu panjang namun cukup untuk menutupi bagian atas tubuh Stefanus serta wajahnya yang sudah berantakan.

    Berantakan dalam artian sebenarnya.

    Beatrice bicara pada tim Kepolisian agar segera menghubungi Rumah Sakit terdekat dan mengirimkan 3 unit ambulans.

    Atau lebih.

    Tepat saat itulah Beatrice mendengarnya.

    Suara rintihan.

    “Ayo!” ujar wanita itu.

     Terus bergerak maju.

     Suara tersebut berasal dari lantai dua. Beatrice dan Adrian bergerak menuju sebuah kamar yang pintunya sedikit membuka dan tampak cahaya keluar dari dalamnya.

   Adrian maju lebih dulu. Memberi isyarat melalui matanya. Beatrice mengangguk.

    Bergerak dengan amat pelan.

    Setibanya di ambang pintu, hal pertama yang lelaki itu lihat adalah warna merah.

    Darah!

    Dimana-mana.

    Kemudian.....

    “Jabat!” teriak Adrian. Seketika menghambur. Mendekati kameramen berbadan besar itu.

    Jabat Shobirin tertembak di kedua pahanya. Tengah berjuang untuk berdiri. Dan Adrian mencoba membantunya untuk berdiri hingga.

    “Lepaskan dia Ad”

     Terdengar suara dingin Beatrice. Serta bunyi kokangan pistol.

    Adrian menolehkan kepala, masih dalam posisi berusaha menopang Kameramen TVC tersebut.

    Didapatinya Beatrice dengan tatapan tajam menusuk mengarahkan senjatanya pada Jabat. Hal serupa juga dilakukan dua anggota Agen lain yang kini berdiri di sisi kanan kiri Beatrice.

      “Tris dia terluka....”

     “Ya. Dan tetaplah minggir” Beatrice memberi isyarat melalui mata.

    Mendesah.

   Adrian akhirnya melepaskan pegangannya dan berusaha minggir.

     Jabat kini menangis. “Tembak saja aku. Pak Adeq tidak memenuhi janjinya. Dia bilang kami akan mati bersama setelah semua ini selesai tapi dia membohongiku. Dia justru menembak kakiku dan...” tangisannya pecah. Pria itu menundukkan kepala sambil terisak.

     “Untuk apa aku hidup. Dulu aku bertahan demi membalaskan dendam kedua orang tuaku. Mereka yang telah berkerja keras, membanting tulang serta menghabiskan seluruh hidupnya dengan berjualan di Pasar itu. Tapi siapa sangka tempat itu juga yang menelan jiwa mereka. Namun orang-orang itu...para bajingan yang harusnya bertanggung jawab justru hidup semakin makmur seakan tak ada apapun yang terjadi”

    “Itu sebabnya kamu melakukan dengan caramu sendiri?” tanya Beatrice.

    “Iya benar!”

   Teriak Jabat seraya mengangkat wajahnya. Rambut gimbal gondrongnya menutupi sebagian wajah. Kedua tangan memegang erat tepian meja marmer. Berusaha bertahan di sana.

     “Kalian yang menjadi tumpuan orang-orang seperti kami justru membuat kami tanpa harapan. Andai saja orang-orang seperti kalian berkerja lebih baik maka tak perlu ada orang-orang seperti kami” Jabat menatap tepat di kedua pupil Beatrice.

    Dan saat itulah. Hatinya berguncang.

    Menurunkan senjatanya. Beatrice melangkah mendekat. Menghampiri Jabat. Tanpa mengalihkan tatapan sedetik pun dari pria itu dia berkata.

    “Maaf. Maaf karena saat itu bukan aku yang mengurus kasus kalian. Jika aku orangnya maka aku bersumpah akan berkerja sekeras mungkin agar setidaknya kalian bisa menemukan jalan agar suara kalian bisa di dengar. Maaf juga, atas apa yang menimpa Orang Tuamu. Aku memahami penderitaan juga sakitmu. Namun, caramu tetap tidak bisa dibenarkan”

    Berhenti tepat dihadapan Jabat. Kini jarak diantara keduanya teramat dekat.  Sejujurnya Adrian sedikit cemas karena Beatrice begitu nekad. Siapa yang tahu apa yang bisa Jabat perbuat pada wanita tersebut dalam jarak sedekat itu.

     Menundukkan kepala Beatrice akhirnya berkata. “Orang tua anda berkerja keras agar kelak kehidupanmu menjadi lebih baik. Mereka ingin anda memiliki nasib berbeda dari mereka. Itu karena mendiang Orang Tua anda percaya, jika di dunia ini masih ada kebaikan, dan anak mereka kelak akan menjadi salah satu orang yang akan mengisi kebaikan itu. Lalu,  kalau sekarang anda memutuskan bunuh diri dan menemui mereka begitu saja, apa anda yakin mereka justru akan merasa bangga. Sebab anda berhasil membalaskan dendam mereka?”

    Mengangkat wajahnya. Beatrice memberikan tatapan menusuk untuk Jabat ketika kembali berkata.

     “Jawabannya adalah tidak. Orang Tua anda justru tengah menangis pilu dalam alam baka sekarang. Sebab anak yang telah mereka perjuangkan hingga harus menghantar nyawa, ternyata justru hidup pada sisi jalan salah dan memilih dendam. Mereka sedih. Karena ternyata anak mereka, justru tidak ada bedanya dengan pengecut dan pecundang yang telah merenggut nyawa mereka”

    Bahu Jabat bergetar hebat.

    Saat akhirnya ia sadar pada semua perbuatannya. Segalanya sudah sangat terlambat.

    Tubuh pria itu merosot di lantai. Rasa sakit dan perih menyengat sudah tak lagi ia rasakan. Semua digantikan oleh sedih serta kekecewaan mendalam dalam hatinya.

    Akan dirinya sendiri.

    Beatrice mengambil sesuatu dari dalam saku mantel katun biru tuanya, seraya berjongkok di hadapan Jabat Shobirin. Dia berkata.

    “Jabat Shobirin. Anda ditahan atas tuduhan konspirasi pembunuhan berantai terhadap mendiang Thomas Anggara, Adi Sudrajat, Maffud Jaya, Armat Atalla, Taufik Rahman, Stefanus Harijaya. Dan pembunuhan terhadap mendiang Sam Tanjaya. Anda memiliki hak untuk diam dan berhak mendapatkan bantuan Pengacara”. Beatrice memborgol kedua tangan pria itu.

    Kemudian dia berdiri. Dan menatap Adrian yang tengah melemparinya tatapan teduh.

    Jabat masih menangis saat dia digiring oleh kedua Agen pembantu, hendak keluar dari ruangan.

    Saat itulah sambungan terbuka. “ Kanit! Saya melihatnya! Adeq Tahir bergerak ke sisi timur bukit melalui pintu belakang. Dia sedang berlari. Saya akan mengejarnya sekarang!”

    Itu Dirga.

    Beatrice dan Adrian saling tatap.

    Langkah Jabat terhenti. Memandang Adrian dan Beatrice melewati bahunya dia berkata pada dua orang itu.

    “Tolong, selamatkanlah dia. Diantara kami semua, dialah yang paling menderita sesungguhnya” pinta Jabat. Sungguh-sungguh.

    Beatrice mengangguk satu kali pada Jabat. “Ayo”katanya pada Adrian.

     Keduanya segera berlari meninggalkan ruangan terlebih dulu. Menuruni tangga. Keluar dari Villa. Setibanya di sisi samping kanan, keduanya bertemu Tim Guntur dan Agam.

    “Ke arah sana!” teriak Guntur. Mengarahkan. Lalu berlari lebih dulu.

    Mereka mulai mendaki bukit.

    Baik Beatrice maupun Adrian dalam hati berdoa. Semoga segalanya belum terlambat.
**********************************

 **********************************

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


   


    Special pics💖💖
   

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


    Special pics💖💖
   

[COMPLETED STORY] The Truth Desire : #02. BII Series.Where stories live. Discover now