File Twenty Five : The Prisoner.

128 19 6
                                    

Judul mulmed >> Ost. STRANGER KDRAMA S1. Various Artist Part. 19.
.
.
*************************
"Jika kalian bisa mengubah masa lalu kalian. Apa kalian akan melakukannya?"
~Dianita D~
💗

     Saat Dirga kembali ke ruang UGD, Satya sudah tak ada disana. Dan Ara masih terjaga. Duduk diatas ranjangnya.

    Ara langsung memasang senyum cantik andalannya ketika Dirga menghampirinya. Menarik kursi duduk di sisi kanan.

    “Dokter jaga bilang lukaku tidak parah, aku bisa pulang setelah infusnya habis” tukasnya dengan nada ceria.

    Hati Dirga kembali terasa sakit. Kenapa saat bersama pria lain Ara bisa jujur dan ketika berhadapan dengannya gadis itu justru berpura-pura.

    “Syukurlah” kata Dirga. Mencoba tersenyum.

    “Kamu dari mana tadi? Siapa yang menelpon?” tanya Ara.

    “Agen Agam. Dia bilang Ronald Prakarsa sudah membaik. Dan Agen Ikang berkata kalau hasil forensik mendapatkan banyak sidik jari Ronald ditubuh korban”

    Ara seketika terdiam. “Oh...” ia lalu menatap apa saja, selain Dirga.

    “Dan. Kurasa kamu juga harus tahu soal ini”

    Ara mengarahkan tatapannya lagi pada pemuda itu.

    “Aku bertemu Ayahku”

    Ara melongo.

    Kemudian. Dirga mulai menceritakan segalanya. Ara mendengarkan tanpa menginterupsi sedikit pun. Dan di akhir ceritanya Dirga memberitahu Ara, kalau besok dirinya akan menemani Ayahnya ke Kantor BII sekaligus ke Lapas untuk menemui Pangabian Sakti.

    “Berhati-hatilah. Apapun itu, kita tahu kemungkinan besar dalangnya masih diluar sana. Aku akan mengiterogasi Ronald Prakarsa besok. Aku yang sudah menangkapnya jadi setidaknya aku harus mendapatkan kebenaran dari mulutnya sendiri”

    Ara menatap ke samping wajah Dirga. Sedikit menolak untuk menatapnya kali ini. Dan sejujurnya membuat pemuda itu bertanya-tanya. Apa sebetulnya yang telah terjadi pada gadis tersebut.

    Dirga sempat melihat saat Ara menyerang Ronald, namun awalnya ia pikir karena Ara merasa tersudut.

    “Aku tunggu disini sampai infusmu habis. Setelah itu kita pulang bersama-sama. Oke” Dirga menggenggam tangan Ara diatas pangkuan gadis itu. Dan Ara mengangguk seraya tersenyum tipis.

*******************************
   Dirga mengantarkan Ara dulu ke kantor pagi itu, sebelum menjemput Ayahnya di Hotel tempatnya menginap. Sedangkan Ara mendapatkan berita dari Agam, kalau Roy telah dipindahkan ke ruang tahanan khusus di kantor BII Prov.Jatim tadi subuh.

    “Terima kasih atas tumpangannya” kata Ara seraya melepaskan sabuk pengaman.

   “Ara, hati-hati. Oke” kata pemuda itu sungguh-sungguh. Tampak cemas.

    Ara mengangguk sambil tersenyum. “Tenanglah, ini aku”

   Bergegas turun dari mobil, gadis itu sempat melambaikan tangannya satu kali sebelum masuk ke dalam lobi.

    Ruang tahanan terletak di basement paling dasar gedung. Bagian itu baru dibuat tak kurang dari setengah tahun lalu atas ide Beatrice Iskandar. Agar menyesuaikan dengan kantor di pusat.

    Saat Ara mencapai dasar ruang bawah tanah, ia segera menunjukkan kartu identitasnya pada petugas lapangan yang berjaga. Tempat itu berupa lorong panjang dan jauh lebih terang ketimbang di Jakarta.

    Sisi kanan dan kiri lorong berupa bilik-bilik sel penahanan sementara untuk penjahat khusus yang kasusnya ditangani oleh BII.

    Ara mencapai ujung sisi kanan lorong. Membuka pintunya perlahan. Kapten Guntur sudah berada di dalamnya.

   Lelaki itu menatap ke arah kaca pada ruangan lain disebelah. Dimana Roy terduduk lemah di atas ranjang dengan kedua tangan diborgol. Ada Agam duduk pada kursi besi di sisi kiri. Tampak tengah menunggu pria itu untuk bicara.

    Guntur memberikan berkas soal kondisi Roy kepada Ara. “Dia terus bungkam dari semalam. Sekalinya bicara hanya berkata kalau dia bukan pelakunya” tukasnya seraya bersidekap. Memunggungi Ara.

    Ara membaca hasil Forensik. “Sidik jari pria itu dimana-mana?” dahinya berkerut dalam.

    “Mereka menemukan dna Ronald pada jari-jari Taufik Rahman. Penjahat itu sepertinya tidak sempat untuk memotong jarinya seperti pada korban sebelumnya” kata Guntur.

    Ara menurunkan berkas tersebut dari wajahnya. Sambil melemparkan tatapan kosong ke arah ruangan disebrang ia bergumam. “Itu karena aku memergokinya lebih dulu. Atau?”

    Guntur seketika menoleh ke arahnya.

    “Biarkan aku yang bicara padanya” kata Ara.

    Sembari melewati bahu si Kapten dan menguncir kuda rambutnya secara asal.

    Gadis itu mendorong pintunya dari luar, membuat Agam menoleh ke ambang pintu. Dan uniknya, saat Ronald melihat wajah Ara, ia tersentak kaget. Seketika ekspresinya berubah. Ara bisa menangkap sorot takut pada kedua mata pria itu.

    “Agen Agam, saya bisa mengurusnya dari sini”

     Agam memandang Ara sekilas lalu Ronald. Mengangguk. Dia sudah akan beranjak berdiri saat Ronald akhirnya bersuara.

    “Tu...tunggu dulu. Anda tak bisa meninggalkanku begitu saja dengannya...” suaranya gemetar. Ekspresi yang ditampilkan Ronald berupa pancaran ketakutan murni.

    Agam menatap ke arah Ronald tak percaya. Lalu berganti memandangi Ara. “Aku tak percaya ini, apa yang sudah kamu lakukan padanya sampai pembunuh berantai seperti dia jadi begitu ketakutan seperti anak ayam kehilangan induknya”

    Sejujurnya, itu kalimat ejekan.

     Menutup pintu dibelakangnya. Ara menghampiri ranjang Ronald yang semakin memundurkan badannya seraya duduk diatas ranjang.

    Ara berhenti tepat disamping kiri ranjang, mencondongkan badan seraya menolehkan lehernya ke sisi kanan. Hingga muka mereka kini saling berhadapan.

    “Kalau begitu sebaiknya jangan buang-buang waktuku. Katakan siapa yang menyuruhmu” suara yang keluar dari tenggorokan Ara terdengar sangat menakutkan. Belum lagi sorot matanya yang memancarkan kebencian.

    Tak cuma Agam, Ara sendiri kaget mendengar suaranya barusan.

    “Berapa kali kukatakan, bukan aku pelakunya! Aku bersumpah!” setiap syaraf pada wajah Ronald menegang. Campuran takut juga kesal karena tidak dipercaya.

    Menegakkan tubuhnya, Ara bertanya lagi. “Kalau begitu kenapa anda ada disana semalam?” kali ini suaranya terdengar stabil.

    “Aku hanya diperintahkan untuk mengikutinya. Dan sewaktu aku tiba di kediamannya semalam, kulihat dan kudengar Taufik Rahman kabur serta sedang kalian kejar. Itu sebabnya diam-diam aku ikut membuntuti kalian!”

    Kedua alis Ara tertarik naik. ‘Ucapannya seperti pengakuan Ayah Dirga’ kata Ara dalam hati.

    “Kalau begitu kenapa anda kabur ketika melihatku, dan kenapa anda berusaha menyerangku” tuntut Ara. Seraya memincingkan mata.

    “Itu karena aku terkejut. Aku berlari ke tempatnya saat mendengar teriakannya dan tahu-tahu, pria itu, sudah tewas. Kemudian kamu muncul” Ronald  menjelaskan.

    Keringat dingin membanjiri dahi juga lehernya. “Aku hanya berusaha membela diri!”

    Ara mendengus. “Yang benar saja!”.

    Secara mengejutkan ara menurunkan  sweater halter neck merah pada bagian lehernya seraya menunjuk area tersebut. “Anda sudah mencekikku dan berkata hanya membela diri!” bentaknya sambil menjerit emosional.

    Agam akhirnya maju, berusaha menenangkan juniornya tersebut.

     Ronald mulai panik. “Sungguh aku tidak membunuhnya. Aku juga tak membunuh siapapun. Bapak Sam hanya menyuruhku untuk mengikutinya sebab beliau mendapatkan pesan aneh dari lelaki itu” kata pria itu seraya terbata-bata.

    “Jadi Sam Tanjaya yang menyuruhmu bukan, selain Taufik Rahman, nyawa siapa lagi yang sudah melayang di tangan anda?”

     Sepasang netra Ronald mengerjap, tampak kebingungan. Melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan.

     “Tuan Ronald Prakarsa, apa anda tahu sedang menjadi terdakwa dari kasus pembunuhan berantai? Tim Forensik telah menemukan sidik jari anda pada tubuh korban Taufik Rahmat. Dan anda bisa menjadi tertuduh untuk 4 kasus lainnya”

    Ucapan Agam menyentak Ronald. “Tidak, aku berani bersumpah tidak membunuhnya”

    “Tapi kamu membawa senjata” kata Ara dingin.

    “Aku hanya membawanya untuk berjaga-jaga. Kalian bisa mengeceknya dan tak akan ada satu pun noda darah dari pria itu di pisauku!” Ronald menjerit frustasi. “Percayalah, saya sedang dijebak. Setidaknya tolong telponlah atasan saya...” pintanya. Seketika berubah memelas.

    “Jawab pertanyaan kami. Apa anda diutus untuk mengikuti orang lain? Siapa dan kapan? Lalu mengapa?”

    Ronald menggeleng. “Saya hanya mengikuti Armat Atala satu kali, tapi itupun sehari sebelum ia ditemukan meninggal. Kalian bisa mengeceknya di kotak hitam dalam mobil saya. Armat berbicara dengan Bos beberapa saat sebelum dia ditemukan tewas di dalam rumahnya. Soal apa...itu...”

    “Sebaiknya katakan segalanya dengan jujur. Pernyataan anda akan sangat berguna di Pengadilan nanti” kata Agam.

    “Tentang pencucian dana!” Ronald akhirnya mengaku seraya memejamkan mata. “Orang-orang itu telah melakukan ‘banyak hal’ untuk Perusahaan kami dan atasan saya. Begitu juga Taufik Rahman, serta tiga korban lain. Tapi sungguh, saya tak tahu banyak hal lagi soal mereka. Dan ketika sadar, setelah membaca beritanya dari media. Saya rasa, atasan saya juga tidak tahu menahu mengenai kematian orang-orang ini”

    “Masih bisa membela Bosmu rupanya. Apa sebetulnya yang dia berikan padamu? Separuh nyawanya?” sindir Ara dengan lidah setajam pedang.

    “Saya serius!” Ronald mendongakkan kepalanya. Menatap tepat ke sepasang pupil Ara. “Sebab dengan tewasnya orang-orang itu, atasan saya juga akan merugi. Percayalah. Kami tak ada kaitannya dengan ini”

    Ara dan Ronald saling tatap dalam waktu cukup lama. Ara mencoba mencari kebohong di sepasang mata pria itu, wajahnya yang bengkak akibat pukulan Ara semakin tampak memerah akibat menahan emosi. Gadis itu akhirnya menyerah.

    Dia hanya menemukan kejujuran pada ucapan Ronald.

    “Kita akan tahu kebenaran soal atasanmu. Setelah menggeledah rumahnya nanti” katanya ketus.

    Gadis itu sudah hendak meninggalkan ruang tahanan ketika Ronald kembali berbicara.

    “Maaf. Perbuatan saya pada anda semalam memang salah. Tapi sungguh, bukan saya pembunuhnya”

    Langkah Ara terhenti sejenak. Mendongakkan kepala seraya menatap langit-langit suram, ia berusaha mengontrol nafas juga emosinya. Gadis itu menghitung sampai tiga. Kemudian kembali melangkah. Menuju ruangan satunya.

   “Aku benci mengatakan ini Kapten, tapi kurasa dia jujur. Soal dia bukan pelaku pembunuhan korban Taufik Rahman”

    Guntur melemparkan tatapan heran pada anak buahnya tersebut.

    “Sejujurnya ada saksi lain dari kejadian semalam. Tapi saya belum bisa mengatakan apapun karena...kita tetap harus menggeledah kediaman Sam Tanjaya”

    Guntur menghela nafas. Mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja sambil menunduk, tampak berpikir sejenak. “Baiklah aku paham”

    Ia menekan sambungan dan berbicara pada Agam yang masih berada di dalam ruangan tahanan. “Agen Agam anda bisa keluar dari sana. Biarkan para petugas lapangan yang berjaga. Setelah ini ikut saya menuju rumah Sam Tanjaya”

    Berhadapan dengan Ara. Guntur bertanya. “Kamu yakin sudah lebih sehat?”

    Ara mengangguk. Sepasang tangannya terkepal erat disamping badannya.

    “Baiklah kalau begitu. Ikuti saya namun jangan berbuat gegabah. Oke”

    “Baik Kapten”
****************************


[COMPLETED STORY] The Truth Desire : #02. BII Series.Where stories live. Discover now