TLL 52: Little Angel I

9K 553 56
                                    

TLL 52
The Light Of Life

Ottoman, akhirnya setelah perjalanan panjang Jaeer tiba di Ottoman. Zian tidak ikut karena mempersiapkan pasukanya. Jaeer hanya pergi bersama Farqi, salah satu orang kepercayaan Zian.

Berbeda dengan Daryan yang Zian kirim kembali ke Persia untuk menjadi informan disana.

Jaeer sudah tiba di istana Ottoman, istana megah dengan segala bentuk keamanan yang begitu ketat. Jaeer sedikit merapikan pakaian nya saat akan bertemu dengan Raja dari negeri besar Ottoman ini.

Sebenarnya Jaeer merasa sedikit aneh saat melihat banyaknya bendera putih di setiap pilar istana. Membuat Jaeer sedikit bertanya pada Farqi namun pria itu hanya menjawab seadanya dengan mengatakan bahwa kemungkinan ada keluarga kerajaan yang sudah meninggal.

Jaeer digiring ke dalam sebuah aula namun tidak ada siapapun disana. Jaeer mulai tidak sabar terlebih yang saat ini mereka hadapi bukan masalah ringan yang dapat ditunda.

Seorang pria berperawakan kurus tinggi datang menghampiri. "Raja tidak ingin bertemu hari ini, mungkin besok. Mari saya antar kalian menuju kamar sementara kalian" Jaeer tidak bisa protes dan hanya menghela nafas sedikit kasar.

Jaeer pikir keesokan harinya akan langsung bertemu Raja Ottoman itu. Namun ia salah, ini sudah minggu kedua dan sang Raja masih begitu merendahkan utusan Persia dan Hirah itu. Dengan entengnya mengatakan bahwa ia ingin bertemu dilain hari saja, benar-benar mempermainkan.

Jaeer sadar, ia tidak punya kuasa untuk protes. Ia bukan Arshya atau Zian yang mampu melakukan hal itu.

Farqi yang tengah duduk di kursinya berkata pelan. "Raja itu ingin pemimpin kita sendiri yang menemui dirinya". Jaeer menoleh menatap lawan bicaranya, "Sesuatu yang sulit dilakukan saat ini. Keadaan Tuan Arshya saja tidak jelas seperti apa". Farqi  mengangguk setuju.

"Perlukah kita menerobos?" Tanya Farqi yang hanya ditatap Jaeer aneh. Kini ia mengerti alasan Zian mengirim Daryan ke Persia dan bukan Farqi. Nyatanya Farqi tipe orang yang mampu menyarankan hal-hal diluar nalar, seperti manusia yang memiliki banyak nyawa sampai tidak takut akan kematian.

Kepribadian yang harus dipantau, meski ia memiliki pemikiran dan pemahaman yang luas tidak menjadikan ia pribadi yang mampu mengambil keputusan logis yang diambil dari banyak pertimbangan.

Farqi adalah contoh manusia yang benar-benar tidak takut kematian.

Pria itu sebelumnya menyarankan Jaeer untuk menggoda Raja Ottoman, atau menyusup lalu mendesaknya.

Pemikiran yang amat gila.

"Belum ada informasi dari Daryan?" Farqi menggeleng pelan. "Dia belum memberikan kabar apapun" Jaeer mengangguk paham.

Berharap semoga Arshya baik-baik saja dan segera menyusul dirinya, menggaet Ottoman tanpa kehadiran dirinya adalah sesuatu yang sulit dilakukan.

Amat sangat sulit.

*      *       *

Kesehatan Shava semakin menurun. Namun gadis itu enggan diperiksa tabib. Sael tahu itu adalah bentuk pemberontakan pada Asghar. Namun melebihi siapapun, Sael yang paling tahu kondisi Shava, terlebih Sael menguasai sedikit ilmu kesehatan.

Entah mengapa pikiran terarah pada satu hal, kemungkinan dari melemahnya kondisi Shava.

Kemungkinan yang ia pikir datang di waktu yang begitu tidak tepat seperti ini.

Asghar menarik Shava saat gadis itu berjalan melewatinya, Asghar tengah berusaha menahan diri. Bersikap semanis mungkin pada Shava. Shava dapat merasakan hal itu.

"Kau masih belum menemukan Arshya?" Shava berkata dengan nada bicara sedikit tinggi. "Jika belum jangan bicara padaku" Shava kembali beranjak sebelum tangan itu kembali mencengkramnya kuat membuat gadis itu meringis kesakitan.

"Arshya, Arshya, Arshya. Kenapa selalu dia yang kau pikirkan hem?" Shava terdiam, menatap mata yang menatapnya rapuh. Mata Asghar amat terlihat rapuh.

Shava sedikit gelagapan, bingung ingin berkata apa. Terlebih saat melihat raut muka Asghar yang tampak nyata. "Tidak bisakah berhenti memikirkanya?" Shava menggeleng pelan, "Tidak. Karena aku mencintainya" Asghar tertawa pelan.

"Mencintai orang yang sudah mati hem?" Shava mengepal kuat lengannya, nafasnya mulai memburu dan degup jantungnya mulai terpacu kuat.

"Dia masih hidup, aku percaya padanya. Aku percaya dia cukup kuat untuk kembali padaku" Asghar kembali tertawa. "Sayang sekali, kali ini dia tidak akan kembali padamu" Shava marah.

Darahnya seolah mendidih, mendengar kepercayaan yang digoyahkan Asghar. Pria yang semula ia anggap baik namun mulai menggila menunjukan wajah aslinya.

Shava mengangkat tinju kecilnya, berusaha memukul Asghar namun pria itu dengan mudah menghindar, membuat Shava kehilangan keseimbangan dan terjatuh. Kepalanya tanpa sengaja terbentur Pilar, membuat cairan merah merembes keluar dari sana.

Sael langsung menghampiri meski tubuh Shava sudah ada dalam dekapan Asghar yang terlihat panik sambil memanggil-manggil tabib istana.

Shava tidak sadarkan diri.

* * *

"Ratu Hamil, alasan tubuhnya semakin melemah adalah kehamilanya. Ini sudah memasuki minggu ketujuh dari usia kandunganya" Asghar mematung. Mendengar apa yang dikatakan tabib padanya.

"Dari awal, Ratu memiliki tubuh yang lemah. Saya pikir anda tau sendiri Tuan, jadi akan berbahaya jika ia melakukan kegiatan fisik yang berat dan beban pikiran juga akan mempengaruhi kesehatan nya" Asghar masih terdiam sampai tabib itu pamit sekalipun.

Sael tau, Asghar tidak terima. Marah saat gadis yang begitu diinginkan tengah membawa benih dari pria paling ingin dihancurkan. Semua terlihat jelas di wajahnya.

Wajah yang sampai beberapa menit ini masih enggan berpaling dari Shava. Menatap Gadis itu pilu.

Sebelum akhirnya dia tersenyum tulus.

"Tidak apa, aku tidak masalah dengan adanya anak itu. Aku akan tetap menjadikanmu sebagai milikku" Sael terdiam, merasa Asghar sudah gila mengatakan itu.

Shava sudah menjadi obsesi bagi pria itu, sebelum Sael melihat senyuman yang kembali terukir di wajahnya saat menatap Shava.

'Dia bahagia?'

'Dia tulus?'

'Dia benar-benar mencintai Shava? Jadi bukan hanya sekedar obsesi?'

Sael menghela nafas singkat. Mulai merasa miris pada dirinya. Shava bisa mendapatkan cinta setulus itu sampai dua kali dan dirinya belum mendapatkan apa-apa.

Sael mengerti, apa yang dikatakan Shava benar. Akan tiba saatnya kebahagiaan datang pada hidup kita, kita hanya perlu sabar menantinya.

Harapan Sael kali ini justru menginginkan kebahagiaan Shava, kebahagiaan gadis itu karena Sael merasa Shava sudah cukup banyak merasakan rasa sakit.

Sael merasa sudah waktunya Shava merasakan kebahagiaan, kebahagiaan yang baru didapatnya dan terenggut kembali. Sael harap itu segera kembali padanya.

Sedangkan harapan egoisnya hanya satu.

Berharap Jaeer baik-baik saja.

HegaEca

Terima kasih untuk temen-temen yang memeberikan komentar positif, dibandingkan komentar pada chapter-chpater sebelumnya. Jangan lupa untuk Vote juga yah..

Terima kasih.

The Light Of Life [TAMAT]Where stories live. Discover now