Part 20

528 42 5
                                    

Kediaman rumah warisan mendiang Ayah dari Kristanto

"Rendra sama Lila pulang dulu ya Yah, Bun. Makasih udah jagain Lila," pamit Rendra mencium punggung tangan Kristanto dan Marlina.

Setelah bergantian Lila mencium punggung tangan Ayah dan Bundanya, lekas Rendra melajukan mobil melewati gerbang rumah Kristanto kembali menuju ke rumah pribadinya.

Kediaman rumah Rendra Atha Pratama

Sesampainya mereka didalam kamar. "Mas, ada yang mau aku omongin," "La, ada yang mau Mas omongin," ucap Lila dan Rendra bersamaan.

"Ya udah, kamu duluan!" Rendra mempersilahkan.

"Enggak. Mas duluan!" tolak Lila mempersilahkan.

Rendra menghela nafas kasar. "Bener kamu dapat beasiswa ke Singapura?"

"Loh! kok, Mas tau?"

"Dalinda yang bilang."

"Oh... iya, Mas." Lila menunjukkan paspor yang ia terima dari sekolah tadi pagi.

Dicekal dan ditatap nanar Rendra paspor itu. "Kamu bakalan pergi?"

"Iya, Mas. Itukan mimpiku dari dulu, berkuliah, punya karir mapan, dan menjadi orang yang sukses. Aku ingin sebanding denganmu, Mas agar aku bisa menjadi pantas untukmu."

"Apa kamu ini tidak pantas untukku?" tanya Rendra menyelidik.

Lila menggelengkan kepala lemah. "Belum, Mas."

"Kenapa?"

Menghela nafas pelan. "Kamu itu tampan, mapan, dan baik, Mas. Kenapa harus menikah denganku seorang gadis manja yang selalu bergantung kepada orang tua. Bahkan menikah denganku saja bukan atas dasar keinginanmu, tapi atas dasar paksaan."

Rendra mulai tak bisa mengkontrol emosi. "Jadi semuanya kamu anggap apa selama ini?" sedikit berteriak. "Nggak. Kamu nggak boleh pergi!"

Tersentak. "Kenapa? Mas, tolong ngertiin aku, Mas!" Lila tak dapat membendung air matanya.

"Dari dulu aku ngertiin kamu, La, tapi kamu nggak pernah ngertiin aku," terang Rendra. "Kamu egois, La..." lirihnya. "Kamu nggak pernah cinta sama aku."

"Aku cinta sama kamu, Mas." Menyangkal.

"Tapi kamu tega."

Dari perasaan yang paling dalam. Sejujurnya, kejadian ini kembali mengingatkan Rendra pada peristiwa yang pernah terjadi pada beberapa tahun silam. Bertengkar dan pergi, kata itu yang masih sering terngiang dikepalanya.

"Ini semua juga untuk ayah sama bunda, Mas. Mereka yang mendukung aku ikut seleksi beasiswa itu."

"Tapi itu sendiri karena keinginanmu, kan?"

Lila menggeleng lemah. "Mas salah paham. Mas tau, aku tidak bisa mengecewakan dan menolak permintaan orang tuaku. Termasuk menikah denganmu! Sejak pertama bertemu, aku sudah menaruh hati. Aku cinta sama kamu, Mas. Itu sebabnya, kenapa aku tidak banyak membantah saat mereka memintaku untuk menikah denganmu."

"Benarkah? Jadi yang kamu rasakan selama ini. Sama," Rendra membatin.
"Terserah kamu, La, Mas capek. Capek ngomong sama anak kecil." Rendra melempar paspor yang ia genggam kehadapan Lila, kemudian pergi keluar kamar meninggalkan gadis itu sendirian.

Memejamkan mata, Lila meremas jari-jarinya meredam emosi.

Bagaimana tidak? Paspor yang mati-matian ia berjuangkan selama ini, begitu tiada harga dirinya di mata Rendra.

***

Lantaran kejadian tadi siang Rendra dan Lila tak saling mengucapkan sepatah katapun. Bahkan semalam saja Rendra memilih untuk menghindar, menidurkan dirinya di kamar lantai bawah.

Pagi ini mereka melaksanakan rutinitas sehari-hari yaitu sarapan bersama. Jika biasanya terlihat begitu akur dan romantis, namun kali ini berbeda.

Dimeja makan mereka menyantap sarapan tanpa menatap atau berbicara antar satu sama lain.

Bi Ami yang menyimak situasi itu terheran-heran. Sebenarnya apa yang terjadi antara mereka berdua, apakah mereka sedang bertengkar? Jawabannya ya, kenyataannya memang benar.

Usai Rendra menghabiskan sarapan, cekatan ia bangkit dari kursi dan beranjak pergi meninggalkan meja makan begitu saja.

Lila yang melihat pun sedikit sakit hati, pasalnya Rendra tak pernah bersikap seperti itu padanya.

***

Seharian ini Lila hanya mengurung diri di dalam rumah. Ditengoknya jam dinding ruang tamu yang menunjukkan pukul 16.30. "Kok Mas Rendra belum pulang-pulang juga, ya?" Lila mulai cemas.

Sedari tadi Ia terus menunggu, ditorehnya lagi jam dinding yang menunjukkan pukul 19.45.

Ia memutuskan untuk naik ke kamar atas dan mencari ponselnya. Hendak ditekan nomor alamat sang suami. Tetapi, ia mengurungkan niat. "Kalau Mas Rendra masih marah gimana, ya? Tapi, tidak semestinya dia pulang selarut ini. Aku khawatir." Lila jadi bingung dengan pikirannya sendiri.

"Apa aku tunggu sebentar lagi aja, ya! Siapa tau Mas Rendra emang lagi sibuk dikantor. Atau mungkin, dia perlu waktu sebentar untuk menenangkan diri." Kembali Lila menaruh ponsel diatas nakas.

Sambil merebahkan diri diatas ranjang Lila menanti. "Hemh... apa Mas Rendra bener-bener marah, ya? Biasanya, dia nggak pernah seperti ini." Berlarut-larut Lila bergelut dengan penalaran, hingga tak disadar rasa kantuk yang lama ditahan kini berhasil menyerang pertahanan gadis itu.

***

Terimakasih bagi para pembaca yang sudah membaca part ini.

Maaf kalau ceritanya kurang bagus. Tapi kalau kalian suka, jangan lupa tinggalin vote dan komen ya! Jadi, kalau author tau kalian suka sama ceritanya. Nanti author bisa up sampai tamat.

#Salam untuk para readerku🌹🧡🧡

Rendra & Lila [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang