Part 27

411 30 0
                                    

Gedung apartemen penginapan

Seminggu bukan waktu yang lama. Apalagi, jika kita melakukan kegiatan sehari-hari dengan bersinar dan bersuka ria.

Hari ini hari minggu, jadi seperti semestinya, pagi ini ibu baik datang ke ruang kamar Lila untuk mendampingi gadis itu belajar memasak.

Dimeja makan mereka menikmati Gudeg, makanan khas dari Yogyakarta yang sudah dihidangkan oleh Lila sebagai hasil dari praktikum memasaknya.

"Bagaimana, Bu?" tanya Lila antusias.

Ibu baik mengacungkan jempol kepada Lila.

Gadis itu pun tersenyum senang.

Ibu baik menatap sendu Lila, seakan ada yang mengganjal dalam benaknya. Apa lagi kalau bukan karena kejadian beberapa Minggu lalu, kejadian yang berhasil mengusir kenyenyakan tidurnya setiap menjelang malam. Ketimbang terus menyimpan keresahan. Akhirnya, Ibu baik memberanikan diri untuk memberkenankannya pada Lila.
"Em... Lila?"

"Iya?" menatap Ibu baik.

"Akhir-akhir ini, seperti ada yang mengganggu perasaan Ibu."

"Loh, kenapa, Bu! Ada masalah?"

Menggeleng lemah. "Tidak. Ibu hanya teringat dengan anak-anak Ibu yang berada di Indonesia."

Mengelus lengan Ibu baik. "Ibu merindukan mereka? Kenapa Ibu tidak pulang?"

"Ibu tidak yakin. Apakah mereka mau menerima Ibu kembali. Beberapa tahun lalu, tanpa perasaan, Ibu pergi meninggalkan mereka, dan meminta surat perceraian pada suami Ibu," Ibu baik mulai menitikan air mata.

"Astaga!" Lila mengusap punggung Ibu baik, berusaha menenangkan. "Ibu, Ibu yang sabar ya!" menghela nafas. "Sebenarnya, suami Lila juga berasal dari keluarga broken home."

Bagai tersambar petir untuk yang kedua kalinya. Ibu baik membekap mulut. "Ya Tuhan, ternyata benar yang aku duga selama ini, Rendra anakku," batinnya tersendu. "Hiks... hiks... lalu Ibu harus bagaimana, andai kamu ada diposisi itu, apa yang akan kamu lakukan?"

Lila menggeleng pelan. "Lila tidak tahu, Bu. Lila tidak pernah mengalami situasi seperti itu. Tapi, suami Lila pernah bilang..."

Flashback on.....

Terkekeh, "Kamu anak yang rajin, La! ayah sama bunda kamu pasti bangga sama kamu."

Lila tersenyum senang mendengar pujian Rendra. Namun, tersirat tatapan kesedihan dari mata Rendra saat pria itu menyebut kata 'Bunda' dalam kalimatnya.

"Andai... kalau papa sama mama nggak cerai, andai... kalau mama nggak pergi, andai... kalau mama ada disini, bisa lihat Rendra sedewasa dan sesukses ini." Ingin rasanya Rendra menepis kata andai itu. Tapi apa daya, disini posisinya hanyalah sebagai korban, korban dari ke egoisan kedua orang tuanya. "Tapi, Rendra nggak pernah benci papa sama mama. Walau bagaimanapun, mereka itu tetap orang tua Rendra. Nggak ada yang namanya mantan orang tua. Rendra sayang papa sama mama. Mama baik-baik ya disana! Maafin Rendra, Rendra udah besar tapi, nggak bisa jagain mama." Rendra menghela nafas berat.

Lila menggenggam kedua telapak tangan Rendra. "Sabar ya, Mas. Mas itu sukses, baik, dan tampan. Papa sama mama pasti juga bangga sama Mas Rendra!" ungkap Lila tersenyum menghibur. "Em... Mas, makasih ya udah jagain aku seharian ini," ucapnya kembali lalu sekilas mengecup pipi Rendra.

Flashback off......

Ibu baik tambah terisak mendengar cerita dari Lila.

"Lila kira, lebih baik Ibu coba datang temui anak-anak Ibu. Pasti mereka juga merindukan Ibu. Apa salahnya mencoba, daripada tidak sama sekali," Lila memberi saran.

"Iya, Nak. Terima kasih," sambil tersedu-sedan Ibu baik memeluk Lila.

Bandung
Kediaman rumah Rendra Atha Pratama

"Ya udah deh, Ren gitu aja. Udah sore juga, gue cabut dulu ya!" pungkas Pandu menyeruput secangkir kopi hitamnya.

"Iya, Ndu. Makasih ya, hati-hati!"

"Siap, Bos."

Ceklekk!.. Pandu menutup pintu ruang kerja Rendra.

Yah... dimulai lagi, saat-saat yang kenyataannya paling Rendra benci, sendiri. Sejujurnya, ia kerap kali merasa kesepian dirumah. Itu alasannya, mengapa ia selalu menguras waktu untuk bekerja, bekerja, bekerja, yaitu salah satu cara yang dapat ia lakukan untuk mengalihkan rasa kesepiannya selama ini.

Sore tadi selepas dari kantor Pandu sengaja mampir ke rumah Rendra, ada berkas-berkas penting yang harus secepatnya ia ambil. Hitung-hitung, sekalian juga Pandu main ke rumah atasannya itu.

Di kursi ruang kerja, Rendra menghela nafas panjang. Tak sengaja, maniknya menangkap kotak box yang tertata rapi di sudut meja. Diambil dan dibukanya, paket peralatan lengkap handycam. Rendra terkekeh pelan.

Disingkap layar LCD dan diputarnya setiap memori video yang ada di dalam sana. Lama Rendra menatap sendu layar cekli itu.

Ditutup layar LCD handycam. Usai menyaksikan rekaman video, dadanya terasa sesak. "Hah... La, Mas kangen sama kamu. Sekarang kamu lagi apa?" Di dalam ruangan itu Rendra hanyut bersama kesedihan dan kesendirian.

***

Terimakasih bagi para pembaca yang sudah membaca part ini.

Maaf kalau ceritanya kurang bagus. Tapi kalau kalian suka, jangan lupa tinggalin vote dan komen ya! Jadi, kalau author tau kalian suka sama ceritanya. Nanti author bisa up sampai tamat.

#Salam untuk para readerku🌹🧡🧡

Rendra & Lila [END]Where stories live. Discover now