Part 4

757 91 13
                                    

Bandung
Kantor pusat perusahaan Pratama
Ruang kantin,

"Enak nggak es krimnya?"

"Enak, Om. Makasih, ya. Besok beliin lagi," ucap cadel seorang pria kecil yang merupakan anak dari karyawan kantin di kantor pusat perusahaan Pratama.

"Asiapp...! Mau di beliin berapa? 1, 2, 10. Oh, nanti Om beliin sama tukang es krimnya sekalian deh, biar Arya bisa dibuatin es krim tiap hari," kata seorang pria yang merupakan atasan dari kantor pusat perusahaan Pratama.

Sembari menjilati es krim, pria kecil itu cekikikan.

"Arya.... Sini, sayang, jangan gangguin Om lagi makan siang!" teriak seorang wanita memanggil anaknya.

"Tuh, dipanggil sama Mama," ucap seorang pria itu menurunkan pria kecil dari pangkuannya.

"Iya, Ma," jawab pria kecil berlari menghampiri sang Mama.

Drreeett.... Drettt..... Drett...... Drett..... Merasakan sesuatu yang bergetar dari benda pipih yang berada di atas meja. Pria itu pun segera meraih dan melihat panggilan masuk. Tertera nama Papa di layar ponsel tersebut.

"Halo, Rendra."

"Halo, Pa. Ada apa Papa menelpon?"

"Apakah malam ini kamu sibuk atau ada kepentingan bisnis?"

"Emm... Sepertinya tidak, Pa. Tidak ada juga alasan untuk pulang terlambat. Kenapa?"

"Bagus. Kalau begitu, bisakah kamu ke rumah Papa? ada hal yang ingin Papa bicarakan padamu."

"Bisa, Pa. Nanti Rendra pulang ke rumah Papa saja."

"Ya sudah kalau begitu. Papa tutup telponnya, ya."

"Iya."

Tutt......

"Ngapain Bokap lu telpon, Ren?" tanya seorang pria yang duduk di kursi meja depan Rendra, yang merupakan sekretaris dari atasan kantor pusat perusahaan Pratama.

"Katanya nanti pulang suruh ke rumah, Ndu," jawab Rendra singkat. Kemudian memulai aktivitas makan siang.

"Oh... tumbenan suruh pulang? jangan-jangan bokap lu kangen, ya!" canda Pandu.

Sementara Rendra yang mendengar hanya terkekeh pelan.

Kediaman rumah keluarga Pratama

"Nikah, Pa? terkejut Rendra membelalakkan kedua mata. "Loh, Pa, Rendra kan masih fokus mengurus perusahaan. Lagipula, usia Rendra masih belum ideal untuk menikah."

Pratama menjabarkan dengan pengertian, "Fokus mengurus perusahaan itu memang harus, Ren. Mau kamu menikah hari ini, besok, atau lusa yang namanya fokus mengurus perusahaan itu memang tugasmu. Dan Papa fikir 23 tahun itu sudah cukup siap untuk berumah tangga. Papa lihat teman-teman seumuranmu juga banyak yang sudah menimang anak."

"Tapi kenapa mesti dijodohin segala si, Pa?"

"Cukup Rendra," Pratama memotong bantahan. "Papa tidak mau dengar tapi-tapian. Lagian, kamu juga tidak pernah memperkenalkan Papa dengan pacar atau teman perempuanmu. Papa tau yang terbaik untuk kamu dan Papa harap kamu mendengarkan ucapan Papa."

Rendra duduk mematung, mencerna semua perkataan sang Papa. Tangannya gemetar dan pikirannya terus berlarian kemana-mana. Ia menjadi lebih sensitif jika membicarakan soal pernikahan. Jujur, ia masih trauma pada kejadian yang 13 tahun lalu menimpanya. Benar, kedua orang tua yang di cintai. Bahkan Mamanya pun dengan tega pergi meninggalkan mereka dan meminta perceraian. Itu sebabnya, kenapa selama ini Rendra menutup hati untuk banyak wanita dan lebih memilih fokus mengurus perusahaan yang sudah ia ambil alih dari sang Papa.

Kediaman rumah warisan mendiang Ayah dari Kristanto

Pukul 09.00. Kristanto melihat arloji yang menempel dipergelangan tangannya. "Cepat, Bun! keluarga pak Pratama sudah datang," perintah Kristanto.

"Iya, Yah," sahut Marlina, kemudian tergopoh-gopoh naik menuju ke lantai atas.

Ceklekk!... Pintu kamar terbuka cepat. Marlina menyapu pandangan ke seluruh sudut kamar. Tertangkap di ambang cendela seorang anak perempuan tengah sesenggukan, menyembunyikan wajah dikedua lipatan tangan.

"Hemm.... Sudah, La jangan menangis terus!" Marlina mendekati.

Anak perempuan itu mengangkat wajah, menatap sendu Marlina.

"Tuh.., kan make up nya jadi berantakan lagi. Bunda udah dandanin cantik-cantik loh tadi. Sudah kamu jangan menangis lagi!" menegur sang putri.

"Bun.... Lila nggak mau, hiks... hiks..." terisak.

Marlina berjongkok mensejajarkan wajah. "Hustt... Sudah, Nak jangan menangis! Itu keluarga pak Pratama sudah datang, kamu nggak malu kalau di lihat nangis terus," membujuk seraya menghapus lembut air mata yang membasahi pipi Lila.

Ruang tamu

"Haduh... Ngapain aja mereka ini, kenapa lama sekali?" batin Kristanto setelah kehabisan topik pembicaraan dengan Pratama.

Kristanto merasa tidak enak jika keluarga Pratama harus menunggu terlalu lama. Meski Kristanto dan Pratama adalah sepasang teman yang akrab dari dulu. Tetapi, Kristanto juga bisa membedakan mana antara acara yang serius atau sebaliknya.

"Maaf, Pak, Anda jadi sedikit menunggu," timbul Marlina hangat pada Pratama. Sembari merangkul lengan putri semata wayangnya Marlina berjalan mengambil duduk di sebelah Kristanto.

Lila hanya menundukkan kepala mengikuti papahan sang Bunda.

Pratama tersenyum, menamatkan dengan seksama gadis yang sedari tadi tertunduk anteng tersebut.

Melihat kesempatan itu Kristanto sedikit melirik, memalingkan wajah pada Marliana."Sstt..., Bun! Kenapa tadi lama sekali?" berbisik.

"Itu, Yah. Tadi Bunda dandanin Lila lagi, make up nya berantakan, dari tadi nangis terus," Marlina balas berbisik.

"Baiklah. Semua yang bersangkutan juga sudah hadir di sini. Memang kedatangan saya kemari sekedar bersama anak sulung saya. Anak tengah saya tengah menyelesaikan semester akhir di Australi, dan anak bungsu saya tengah menuntut ilmu di sekolah. Apakah ada keluarga yang perlu ditunggu lagi?" tanya Pratama.

"Tidak ada, Pak," jawab Marlina lugas.

Dan dengan berkenan Pratama menjabarkan, "Kalau begitu bisa segera kita mulai! Sebab, tidak baik pula jika terlalu sering mengulur waktu." Pratama memutar kepala, berganti pandang pada anak sulung yang dari tadi hanya duduk diam tanpa mengangkat kepala sama sekali. "Hustt, Rendra angkat kepalamu! dasar tidak sopan," bisik Pratama menegur sang anak.

"Ck," Rendra berdecak dan kemudian mengangkat wajah sebal.

Marlina pun tak kalah telat, ia berbisik pada putrinya. "Lila, itu Pak Pratama sedang berbicara. Perhatian!" perintahnya.

Lila yang menyembunyikan wajah pun tertekan mengangkat kepala pelan.

Dan tanpa sengaja, Tap..! tatapan mereka terkunci satu sama lain.

Lila melihat seorang pria bermata rindang menyejukkan, bibir tipis, kulit kuning langsat dan jangan lupakan rahang yang tegas. Nampak menawan dengan setelan kemeja abu-abu serta celana hitam panjangnya.

Sedangkan Rendra, melihat seorang gadis bermata bulat indah, rambut panjang yang dikuncir kuda, kulit kuning langsat, dan bibir kecil yang manis. Juga begitu menawan dengan polesan make up tipis serta setelan dress abu-abu selututnya.

Ntah sadar atau tidak, mereka tengah memakai pakaian yang senada saat ini.

"Ehem, baiklah. Sudah bisa kita memulai acara?" Seketika deheman Pratama membuyarkan pengamatan Lila dan Rendra.

"Iya bisa, Pak. Silahkan!" Kristanto dan Marlina mempersilahkan.

***

Terimakasih bagi para pembaca yang sudah membaca part ini.

Maaf kalau ceritanya kurang bagus. Tapi kalau kalian suka, jangan lupa tinggalin vote dan komen ya! Jadi, kalau author tau kalian suka sama ceritanya. Nanti author bisa up sampai tamat.

#Salam untuk para readerku🌹🧡🧡

Rendra & Lila [END]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt