01. Hari Pertama Sekolah

68 11 0
                                    

Karena sibuk mencari tentang diri sendiri, baik mengenai Stefani Abertha ataupun Diandra Hadriawan, itu mengakibatkan dirinya telat berangkat sekolah.

Sepanjang perjalanan, di dalam mobil dirinya terus berpikir. Bahkan dia sendiri tidak tahu harus mengenalkan diri sebagai Stefani atau Diandra. Tetapi ia putuskan untuk memanggil dirinya sebagai Stefani karena gimana pun juga tubuh yang ia rasuki adalah tubuh Stefani.

"Benar-benar aneh. Bagaimana semua bisa terjadi?" gumamnya, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Juga seragam yang ia pakai sekarang tidak pernah ia lihat. Nama sekolahnya pun tidak pernah ia dengar.

"Sekolahmu adalah sekolah Pelita Matahari."

"Huh? Sekolah apaan itu? Namanya norak," balas Stefani, mendengar pernyataan dari orang yang katanya adalah Ibunya.

Pelita Matahari? "Aku yakin sebelumnya tidak pernah ada sekolah swasta dengan nama itu." Dia adalah mantan anak swasta, jadi dia cukup tahu daftar nama sekolah swasta. 

"Sekarang kita tinggal di kota apa?"

"Jakarta. Astaga, apa kamu melupakan kota kelahiranmu sendiri?"

"Astaga! Aku itu asli wong Jowo tahu!" sebal Stefani sampai-sampai volume suaranya tidak terkontol. Cukup memekikkan telinga supirnya. "Arek Suroboyo kok isa dadi arek Jaksel, hah!"

"Wah, saya baru tahu Nona bisa bahasa Jawa juga. Tapi gimana pun juga Nona kan anak Jakarta. Nggak baik melupakan tanah kelahiran sendiri," sanggah sang supir. Stefani berdecak sembari mengerucutkan bibirnya. Andai saja supirnya tahu hal yang sebenarnya, pasti tidak akan berkata seperti itu. Malah mungkin akan serangan jantung.

Sengaja ia tidak membalas karena malas menjelaskannya. Pikirannya kembali melayang ke percakapannya dengan ibunya

"Tumben cara berpakaianmu kayak gitu? Biasanya kamu kan nggak pernah urai rambut?"

"Huh? Rambutku kan bagus dan sehat, kenapa nggak diurai? Itu namanya melupakan berkat yang sudah Tuhan berikan padaku." Stefani mencoba memakai roknya yang melebihi lutut. "Bu, apa aku bisa memendekkan sedikit roknya? Setidaknya selutut saja."

Lagi-lagi Ibunya melongo seakan dia mengatakan hal aneh. "Bukannya kamu sendiri yang mau rok panjang?"

Duh! Apa sih yang dipikirkan oleh pemilik tubuh ini? Saking penasarannya akhirnya ia mencoba membuka layar kuncinya yang tidak dikunci dan membuka album. Mata dan mulutnya terbuka lebar saat sadar bahwa tidak ada satu pun jepretan kamera akan selfi dirinya sendiri. Hanya ada pemandangan alam yang cantik. "Apa dia tidak percaya dengan dirinya sendiri?"

"Non," panggil sang supir. "Kita sudah sampai."

Stefani mendongak dan melihat sekitar. Tidak ada tanda-tanda gerbang atau gedung sekolah. "Dari sisi mananya kita sudah sampai, Pak?"

"1 kilometer lagi sekolahnya. Bukannya biasanya Nona minta turun di sini biar bisa jalan kaki? Olahraga pagi katanya."

Astaga, hal gila apa lagi yang dipikirkan pemilik tubuh ini? "Pak, tolong antarin saya sampai depan gerbang sekolah. Masalahnya hari ini saya lagi amnesia ceritanya."

Supir itu terdiam duluan. "Serius, Non? Biasanya Nona marah lho kalau saya antarin sampai gerbang."

"Pak, saya berjanji sejak hari ini tidak akan marah tentang itu lagi. Jadi, tolong antar saya sampai ke depan gerbang sekolah. Setiap harinya." Saking sebalnya, Stefani sampai menekankan dua kata terakhir. Maaf, tapi jiwa di dalamnya bukan Stefani lagi. Orang berbeda, cara hidup berbeda juga. Jadi wajar kan jika cara hidupnya sesuai cara hidup Diandra?

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now