25. Permen Karet

23 6 0
                                    

Kesimpulan yang berujung membuat malu diri sendiri langsung Stefani lupakan. Bukannya gimana, dia sudah dibuat overthinking dengan hal lain. Maklum, manusia—apalagi manusia yang disebut remaja—sering sekali overthinking dengan berbagai macam hal. Bedanya, sekarang dia tak lagi mencemaskan masa depan sebab siapa tahu Diandra bisa kembali ke tubuh asli sebelum Stefani lulus SMA atau kuliah.

Hanya ada satu hal sepele yang terpikirkan olehnya. Bagaimana, kapan, dan kenapa Vino menyukai Stefani? Memang, sih, Stefani itu cantik dan sebenarnya jika dipoles sedikit saja sudah membuat orang-orang banyak berpaling. Tapi di dunia ini, she's nothing.

"Lagian kalau memang suka, kenapa enggak ditunjukkin sih perasaannya? Niat enggak, sih, naksir orang?" Agak kesal saja. Sepertinya perasaan Vino sama sekali tidak mendorong laki-laki itu untuk menolong gadis itu saat di-bully. Jika Vino menolongnya, mungkin hidup Stefani tidak akan sekusut ini!

Harusnya di dalam dunia fiksi, ketika tokoh protagonis perempuan sedang kesusahan, maka tokoh protagonis laki-laki akan membantu dengan inisiatif tinggi. Bukanya Vino itu main lead-able? Meski begitu, tak dipungkiri Evan dan Arden juga main lead-able. Tidak ada jaminan Vino benar-benar merupakan main lead untuk Stefani.

"Kayaknya justru yang paling membantu itu Arden." Mengingat bagaimana si Ketua OSIS beberapa kali sudah menghentikan perbuatan Alexa, kemudian turut memberikan hukuman yang adil padanya, Arden lebih membantu daripada Vino atau Arden.  "Tapi...." Ucapannya menggantung di ujung lidah.

Walaupun Arden sering tersenyum ramah dan bersikap baik padanya. Kenapa hatinya merasa tak tenang?

*****

Seperti biasa, kantin dipenuhi murid-murid yang kelaparan. Salah satunya Stefani. Kebetulan hari ini tidak ada orang yang memasak sama sekali dan Stefani tak punya waktu untuk membuat bekalnya sendiri.

Alhasil, di sinilah dia, sambil berbaris dengan rapi meski jam istirahat akan selesai dalam sepuluh menit lagi sambil mengingat-ingat makanan apa saja yang dia inginkan.

"Bu, aku mau...." Di hadapan ibu penjual, sorot mata yang terang mulai melayu. Terhantam realita, Stefani baru sadar semua makanan nasi sudah habis terjual. "Sudah habis semua ya, Bu?

Hanya sepotong roti lapis yang tersisa. Ya sudahlah, daripada tidak makan apa-apa, lebih baik makan roti lapis itu.

Baru saja berbalik, dia sudah dihadang dengan tubuh Evan yang entah sejak kapan ada di belakangnya. "Lo cuma beli itu aja? Emangnya kenyang?"

"Hm. Mau gimana lagi? Semua nasinya habis."

"Yang jual kan enggak cuma ibu itu doang. Ada yang lain kayak...." Evan mulai mendaftar satu per satu penjual di sekolah sambil menyebutkan semua makanan. "Dari segitu banyaknya makanan, lo tetap milih roti lapis? Ckck."

Stefani memberi alasan. "Waktunya mepet." Memang benar adanya. Karena dia menghabiskan waktu dengan berkeliling isi kantin, lalu mengantri di antrian panjang—tak lupa berkali-kali ia juga terserobot murid lain—sehingga waktu istirahat hanya tersisa lima menit.

Saat mengobrol dengan Evan, tanpa sengaja ekor mata Stefani menangkap Vino. Ia rasa laki-laki itu sedang memperhatikan mereka. Tapi, saat Stefani seratus persen menoleh ke tempat Vino berada, laki-laki itu sudah menghilang. "Pasif banget."

Evan yang mendengar gumamannya segera menyahut. "Apa yang pasif banget?"

"Nothing."

Sesudah itu mereka berpisah. Inginnya Evan mengantar Stefani sampai di depan kelas. Tapi, mengingat huru-hara yang baru saja akhir-akhir ini terjadi—takutnya gadis itu merasa tak nyaman, mereka memisahkan jalan.

Sampai di depan kelas, roti lapis sudah habis tak bersisa. Sayang sekali, perutnya masih menggerutu minta makanan lebih. Ada daya, di bangku Stefani hanya bisa meminum air untuk mengenyangkan perut.

Tidak ada satu orang pun yang memperhatikan gadis itu kecuali laki-laki yang minim ekspresi. Siapa lagi kalau bukan Vino. Melihat bagaimana Stefani menempelkan wajah di atas meja akibat menahan lapar menggerakkan hatinya.

"Kamu belum makan siang?" Tanpa babibu ia bertanya. Stefani terperanjat karena tiba-tiba Vino ada di sampingnya.

"Belum. Pas aku mau beli, makanannya sudah habis semua. Mau beli makanan lain, sebentar lagi masuk kelas. Jadi...." Apa yang akan laki-laki itu berikan? Satu piring makanan yang diam-diam dibeli untuknya? Mata Stefani tak bisa lepas dari tangan Vino yang mengambil sesuatu dari saku.

Tak diduga, di balik genggaman tangan Vino, muncul satu permen karet. "Kamu mau?"

Huh?

Permen karet?

Dia membuat Stefani tak bisa berkata-kata. Sekedar ekspresi terkejut pun tak bisa karena ini benar-benar di luar ekspektasi. "Memangnya permen karet bisa bikin aku kenyang?"

"Enggak, sih." Benar. Lalu kenapa dia masih belum menarik tangannya? "Tapi siapa tahu kalau kamu mengunyah sesuatu, perutmu bakal berpikir kamu sedang makan dan laparnya bisa sedikit berkurang."

"Oh." Ya sudah, lah. Mau tak mau Stefani turut menerima karena logika itu sedikit masuk akal. Entah apakah benar-benar efektif atau tidak.

Dasar, cowok kaku. Stefani jadi tak yakin apakah Vino benar-benar menyukainya atau itu hanya delusi Alexa semata. Dalam hati dia terus mengomel sambil membuka bungkusan permen karet. Sudah kembali ke tempatnya, dua sudut bibir Vino terangkat ke atas puas. Tapi kesenangan itu hanya bertahan beberapa detik.

Hampir saja gadis itu memasukkan permen karet ke mulutnya, tapi tercium aroma sate ketika Adit datang. Di tangannya, cowok itu memegang kresek yang berisi sebelas tusuk sate usus dan kerang. Otomatis Stefani jadi ngiler.

Peka dengan tatapan Stefani, Adit menyahut, "Lo mau?"

"Boleh?"

"Boleh. Ambil aja kalau mau."

"Ambil tiga, boleh?"

"Boleh. Santai aja."

Dengan senang hati, Stefani mengambil dua tusuk sate usus, satu tusuk sate kerang. Setidaknya tiga tusuk ini lebih memuaskan tenggorokannya daripada satu bungkus permen karet.

Jangan tanya bagaimana reaksi sang pemberi permen karet sekarang.

[BERSAMBUNG]

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now