21. Defense For Herself

23 7 0
                                    

Tentu saja sesudah kejadian yang sangat bar-bar, Stefani dan Alexa harus menemui kepala sekolah bersama guru BK untuk membahas kelakuan dan sanksi untuk mereka. Selain itu, orang tua dari Stefani dan Alexa juga dipanggil.

Setelah menerima surat pemanggilan, Ibu Stefani bergegas pergi ke sekolah. Begitu juga dengan Ayah Alexa.

Mereka tiba dan mendapati betapa berantakannya Stefani, sebagai bukti bahwa Alexa tidak mungkin terlepas dari pelaku pembullyan yang parah. Dan, Alexa dengan pipi begitu merah dan memar, dengan begitu Stefani pun tak bisa menghindari hukuman yang ada.

"Apa yang terjadi?"

"Kami mendapati bahwa Alexa telah menyebarkan rumor palsu mengenai Stefani yang dianggap adalah pelakor atau perusak hubungan kedua murid bernama Evan dan Adel. Kedua murid itu sendiri sudah mengaku bahwa mereka memutuskan hubungan bukan karena Stefani, melainkan keputusan mereka sendiri. Tetapi, Alexa justru diam-diam mengambil foto saat Evan dan Stefani berdua dan menyebarkan rumor tak berdasar. Lalu melemparnya dengan beberapa telur mentah dan tepung. Sedangkan Stefani, yang sudah tidak tahan dengan semua itu mengambil keputusan untuk menampar dua kali pipi Alexa sampai memar dan mengeluarkan darah. Menurut Anda, sebagai orang tua dari kedua murid, apa yang harus sekolah lakukan pada anak-anak Anda?" terang sekaligus tanya sang kepala sekolah kepada para orang tua.

Sebelum sempat ibu Stefani marah, ayah dari Alexa sudah meminta sesuatu. "Bisakah kita berbicara berdua?"

Dari ekor mata, Stefani mendapati Alexa yang tersenyum miring. Seakan tahu apa yang hendak Ayahnya katakan.

Ya, begitulah kekuasaan donatur tertinggi bekerja. Mana mungkin dia membiarkan semua terjadi begitu saja? "Dengan segala hormat, apakah Anda, sebagai orang tua dari Alexa mau menggunakan kekuasaan Anda untuk menyelamatkan putri Anda dari sanksinya?"

Mata Alexa melotot tidak suka. Sedangkan Ayahnya menoleh ke Stefani yang berani berkata dengan lantang. "Tidak. Bukan itu yang ingin saya bicarakan pada Kepala Sekolah."

"Kalau begitu, katakan saja di sini," suruhnya dengan tegas. "Sebagai orang dewasa, Anda tahu Anda tidak akan membahas hal lain ketika yang dibahas adalah perudungan dari anak Anda, kan? Karena begitu, sekalian saja bahas sekarang. Di sini. Saya, sebagai korban sejak kelas 10 berhak mendengar apa yang mau Anda katakan."

Seisi ruangan dibuat tercengang kecuali ayah dari Alexa yang selalu berhasil mengontrol ekspresi wajah. "Baiklah kalau begitu. Pak Kepala Sekolah, saya tahu apa yang anak saya perbuat memang salah. Jadi, saya akan memberikan hukumannya di luar sekolah. Akan saya pastikan itu. Saya hanya berharap sekolah mau lepas tangan dengan anak saya sebab dia sudah mendapatkan hukuman lain dari saya."

Sang kepala sekolah tak tahu harus bersikap seperti apa. Terlebih lagi di hadapannya selain adalah donatur terbesar sekolah, juga adalah seorang pejabat negara. "Sekali lagi. Saya juga menyesal dan ikut marah dengan tindakan Alexa yang keterlaluan. Dengan begitu, sekolah hanya perlu menanggung tindakan Stefani yang melukai anak saya."

Ibu Stefani hendak marah, tapi lagi-lagi disela anaknya sendiri. "Jadi, Anda mau sekolah hanya menghukum saya? Seorang korban perudungan dari kelas 1 SMA, dengan berbagai lukai fisik atau mental yang tak terlihat yang diberikan anak Anda, sedang melakukan perlawanan berupa dua kali tamparan kepada pelakunya. Sedangkan pelakunya hanya mendapat hukuman 'rumah' yang belum pasti adalah hukuman? Sebagai pejabat yang menjamin keadilan rakyat, mana sikap Anda yang seharusnya adil kepada anak Anda dan saya, korbannya?"

"Maaf, tapi bukan itu maksud saya."

"Asal Bapak tahu," akhirnya ibu Stefani mulai mengangkat bicara. "Selama ini Stefani memang belum pernah memberitahu kalau dia di-bully oleh Alexa. Tapi, sebelum ini, dia sudah mengalami depresi berat bahkan hampir mati karena bunuh diri! Dan itu semua saya yakin karena anak Anda!"

"Memangnya kalau dia mau bunuh diri, itu salah gue?" Alexa ikut bicara asal.

"Kalau begitu, bagaimana kamu mau menanggung semua penyakit fisik dan mentalku yang kamu sebabkan sendiri?" tanya Stefani menantang. "Sebagai korban, aku berhak meminta pertanggungjawaban dari kamu. Tidak lupa, kamu juga tidak bisa lepas dari sanksi yang diberikan sekolah. Karena kamu melakukan semuanya di lingkungan sekolah. Bukan di rumah."

Sang Ayah kembali berbicara. "Saya dengar kamu juga menjambak rambut anak saya beberapa hari lalu. Itu termasuk kekerasan."

"Apa Anda tahu kalau anak Anda mengirimkan bangkai kucing di loker saya?" Stefani mendecih sinis. "Kalaupun tahu, Anda pasti diam saja. Bahkan ikut menutup mulut sekolah seperti sebelum-sebelumnya, kan?"

"Lo ngomong tuh dipikir-pikir dulu, setan!"

'Anjing,' umpatnya dalam hati. 'Dasar, gak tahu diri.'

"Nak Stefani. Saya tahu Anda pasti kesal dan mengira ini adalah ketidakadilan. Tapi tolong perhatikan juga tutur kata Anda. Apa Anda tahu bahwa semua perkataan yang tidak benar saat keluar dari mulut Anda bisa dipertanggungjawabkan di depan mata hukum?"

"Saya sadar. Anda sadar. Semua orang sadar. Siapa yang tidak tahu betapa untungnya memiliki kekuasaan menjadi donatur terbesar sekolah? Anda tahu Anda punya kekuasaan tersebut, makanya Anda terus memanfaatkan itu saat anak Anda terus melakukan pelanggaran. Sedangkan saya? Saya rakyat kecil, juga seorang korban yang bahkan tidak bisa menghindari hukuman sekolah padahal saya tidak sepenuhnya bersalah. Apalah saya ini?"

Akhirnya orang tua Alexa pun turut gerang. "Jadi, apa yang mau kamu katakan sebenarnya?"

"Saya hanya meminta Anda berhenti membiarkan anak Anda terlindungi dari hukuman sekolah. Saya meminta keadilan kepada sekolah, juga kepada Anda sebagai donatur sekaligus orang tua pelaku. Pak Kepala Sekolah, dengan sangat amat memohon, tolong hukum kami berdua sesuai dengan tindakan kami yang sebenar-benarnya. Jangan biarkan siapa pun lepas. Jangan biarkan siapa pun melindungi satu pihak. Apakah itu hal yang sangat sulit untuk diwujudkan?"

Semua ucapan Stefani tidak berakhir sia-sia. Setidaknya itu berhasil membuat ayah Alexa tidak mau lagi mengurus masalah putrinya saking malunya dia. Sedangkan sekolah memberikan Alexa diskors dua minggu, pemisahan kelas ke kelas khusus, dan wajib melakukan kegiatan sosial setiap minggunya untuk sebulan. Selama itu, Alexa dan Stefani tidak diperbolehkan berkomunikasi karena dikhawatirkan akan menimbulkan huru-hara lagi. Stefani pun hanya sekedar mendapat hukuman membersihkan toilet sekolah selama lima hari setelah menampar pipi Alexa dua kali.

Sisanya, anak-anak yang ikut mem-bully Stefani selama ini juga turut mendapat hukuman.

Semua orang jadi mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, termasuk semua hukuman yang ada. Memang tidak ada yang tahu apa yang terjadi di balik pintu ruangan kepala sekolah. Tapi, yang pasti sekarang mereka tahu, Stefani yang sekarang mampu membela dirinya sendiri. Dia bukan lagi Stefani yang nerd, pendiam, dan menerima semua perlakuan tak mengenakkan padanya.

"Dia seperti orang yang berbeda, bukan?" tanya Arden pada Vino saat secara kebetulan mereka bisa berdiri di tempat yang berdekatan. "Stefani makin menarik perhatianku saja."

Vino memberikan lirikan mata tajam. Mulutnya terbuka hanya untuk berkata, "Jangan dekati dia."

[BERSAMBUNG]

Catatan Penulis:

Anjay, keren banget Stefani😋 Btw idk semua ucapan Stefani bakal work di dunia nyata atau enggak, wkwkwkwk. Kadang realitanya bisa lebih kejam dari fiksi ehehehe. Tapi, menurutku sejauh ini tokoh utama kita sudah mantap banget sieeeee.

Hope you guys enjoy this! If you like this, please vote. If not, please don't  spread hate. Thank you for the views:))

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang