10. Rencana Yang Gagal

35 7 0
                                    

Setelah putri mereka berpamitan untuk pergi ke sekolah, pasangan suami istri itu menikmati sarapan mereka sebelum sang suami kembali bekerja di kantor.

Setelah menyeruput sejenak teh lemonnya yang hangat, Alena mengangkat suara, "Mas, aku kok khawatir sama Stefani, ya?"

"Khawatir seperti gimana, Na?"

"Aku merasa putri kita nggak seperti sebelumnya. Sejak dia sadar dari usaha bunuh dirinya ...." Suaranya memelan, kosa kata 'bunuh diri' masih susah untuk diucapkan. Namun itulah kenyataannya. "Dia seperti menjadi orang lain."

Suaminya menggeleng sembari meletakkan kembali cangkir kopinya. "Alena, bukankah yang penting Stefani sudah kembali sadar dan terlihat jauh lebih sehat dibanding sebelumnya? Lagi pula jika kuperhatikan, perubahan anak itu ke arah positif. Apa kamu nggak ingat betapa murungnya dia dulu? Pergi atau pulang ke sekolah selalu berwajah murung, ketika ditanya apa yang terjadi di sekolah, dia selalu diam. Tapi lihat sekarang?"

Itu memang benar. Dibanding dulu, sekarang gadis itu jauh lebih lugas dalam mengekspresikan pendapatnya. Stefani juga seperti menemukan hobinya yang lain selain belajar. Tidak terus menerus di kamar dan pergi keluar untuk berolahraga di taman atau berbelanja juga hal yang bagus untuk dilakukan. "Sepertinya aku saja yang tidak begitu siap dengan perubahan anak kita."

Tentu saja. Siapa yang siap dengan perubahan yang mendadak? Tanpa mereka ketahui, hal yang bisa mereka lakukan hanya menerima secara perlahan dan ikhlas. Karena, putri mereka yang sesungguhnya sudah tiada.

*****

Katanya, Stefani dipanggil oleh Alexa yang sudah keluar dari kelas sejak bel istirahat berbunyi. Gadis itu ada di dekat lapangan. "Oh? Apa aku harus pergi?" tanya Stefani pada orang yang diperintahkan Alexa memberitahunya.

Orang yang diperintahkan hanya menggaruk kepalanya bingung. Dia pun tidak tahu apakah Stefani bisa menolak perintah Alexa. "Entahlah ... Tapi lo serius nggak ke tempat Alexa?"

"Nggak. Toh bukan dia sendiri yang kasih perintah langsung. Kalau pun dia langsung yang kasih perintah, aku juga nggak bakal menurut, sih," jawab Stefani dengan santai. Toh perintah Alexa tidak selevel dengan perintah atasan. Ia melanjutkan bacaan novelnya yang tertunda.

Semua orang yang di kelas melebarkan matanya, tidak percaya dengan apa yang mereka lihat dan dengar. Selama ini seorang Stefani yang selalu menurut sekarang sudah bisa berkehendak bebas sendiri? Bagaimana bisa?

Sedangkan di dekat lapangan, ada beberapa murid yang sedang asik bermain basket. Ada kumpulan murid-murid perempuan yang sibuk menonton dan melakukan kegiatan fangirling mereka. "Eh! Katanya Evan sama Adel sudah putus kan, ya?"

"Masa?"

"Iya! Postingan Instagrem Adel sudah hapus semua foto Evan." Ah, itu saja sudah cukup menjadi bukti. Mengetahui fakta Evan kembali jomblo membuat semua gadis di situ menjerit senang. "Berarti gue ada kesempatan, dong!?"

"Astaga, mereka ngomongin lo, tuh," ujar Vincent, ketua basket yang hari ini ikut bermain dengan Evan.

Orang yang dipuji-puji hanya membiarkannya sebagai angin lewat. Ia mengambil handuk kecilnya dan menyeka keringatnya sendiri. Dengan cekatan tangannya mengambil botol minum. "Eh, tapi serius lo sudah putus sama Adel? Pantes si Adel nggak ikut temenin lo sekarang."

Evan berdecak. Semakin orang-orang berkata seperti itu, hal itu jadi menyebalkan dan tidak enak didengar. "Gue sudah kasih lo jawabannya tadi, bisa nggak sih kalau pertanyaan itu nggak diulang-ulang? Bosen anjir dengernya."

"Ya elah, sensi amat."

Dari jauh, ada Alexa yang tengah menunggu sembari marah-marah. "Cewek nerd itu mana, sih!? Kok belum di sini juga?"

Masuk Ke Dunia Wattpad (✓)Where stories live. Discover now